Tuesday, August 19, 2008

MOMENTUM

Ini adalah judul dari Youth Conference yang diadakan oleh Komisi Pemuda di GKKK Green Garden tanggal 17 & 18 di Puncak. Dipilihnya tema ini karena adanya harapan bagi pemuda GKKK GG untuk lebih semangat & giat untuk melayani Tuhan. Menurut para pemuda yang pernah belajar fisika, rumus momentum ini adalah P=MxV, adapun di dalam Youth Converence itu tema tersebut diambil dengan sub tema sebagai berikut:

M= Me, Mine & Master
V= Victory
P= Passion

Wah keren kan temanya, acaranya seru abiz. Tapi guyz, karena waktuku menulis ini singkat banget, dan lagian aku sempat mengalami hilang suara di Puncak, nah sekarang lagi batuk & Flu, maka saya ceritakan peristiwa yang menegangkan di mana Tuhan sedang mendidik kami setelah acara Momentum ini.

Sesi 1 adalah Me, Mine & Master yang diambil dari tokoh Ayub, yang semuanya udah kita kenal semua. Nah Di dunia ini ada slogan You Are What You Eat ( kamu adalah apa yang engkau makan) jadi nggak heran banyak orang identitas dirinya ditentukan seberapa sering dia "wisata kuliner di tempat-tempat yang secara cost mahal man. Atau You are what you wear, so jangan anggap aneh banyak orang kejar pake barang-barang ber merk, walaupun kadang-kadang barang aspal. Nah masalahnya Alkita melalui kitab Ayub mengajarkan Kita adalah bagaimana kita meresponi segala hal yang terjadi di dalam kita. Bagimana kita belajar untuk menjadi seperti apa respon Ayub:
Ayub adalah tokoh yang kaya di zaman Alkitab, bahkan ia adalah tokoh ideal yang didambakan banyak orang. Kaya, saleh, anak yang sempurna, apalagi yang kurang? Nah dalam keadaan yang demikian ini Ayub dengan tiba-tiba kehilangan semuanya, apa respon Ayub?
1. Ia datang kepada Tuhan
Ia tidak membalas, ia tidak mengutuk, ia diam & datang kepada Tuhan.
2. Segala sesuatu adalah milik Tuhan sehingga Ayub percaya bahwa Tuhan berkuasa atas segala yang terjadi padanya.
3. Menerima bahwa segala yang terjadi adalah sebagai Didikan Tuhan atas Comfort Zone kita.

Nah Guyz, waktu pulangnya, kami mengalami didikan dari Tuhan. Kami mengalami kecelakaan beruntun di tol (sekitar jam 5 sore), dan kami paling parah. sedan soluna yang kami tumpangi tidak kuasa berhenti dengan cepat ketika mobil Avanza yang di depan berhenti mendadak. Nah ujian dari Tuhan datang ketika mobil yang di depan meminta ganti rugi karena ia mengira kamilah yang meyebabkan radiator mereka pecah. kebayang nggak sih guyz, kami nabrak di bagian belakangnya, tapi yang rusak radiator mobil dia yang berada di depan yang moncong depan mobil dia masih mulus-mulus saja. Pada saat itulah kami ingat firman Tuhan di Sesi 1 ini, Tuhan ingin kami langsung praktek dari Firman Tuhan sesi 1. Walhasil, setelah di kantor polisi (pukul 21.oo) semua sepakat kami mengganti 50% kerusakan dia, sedang soluna kami, tetap kami perbaiki sendiri. Mereka berkata bahwa asuransi mobil ini sudah habis jangka waktunya. Tapi terjadi lagi hal yang tidak mengenakkan, mereka tetap ngotot mesti ke bengkel mereka. sementara kami menganggap bahwa harus ada hak previllage kami karena kami bayar 50% mobil dia. akhirnya dia bersedia ke bengkel kami dengan syarat, biaya derek kami yang harus keluarkan kami mesti merogoh kantong Rp. 450.000. dan setelah sampai di Bengkel kami estimasi kasar Avanza 3,4 juta, sementara soluna kami juga mungkin bisa lebih dari 3 juta.
Wah Tuhan luar biasa.... Terima Kasi Tuhan kami semua masih diberi kesempatan Hidup

Thursday, April 17, 2008

Berpikir ke Depan atau Berpikir ke Bawah?


Kanak-kanak Berpikir ke Depan Vs "Orang Tua" Berpikir ke Bawah?


Beberapa hari ini saya iseng-iseng membuka tayangan Kick Andy di websitenya. Salah satu hal membuat saya terperanjat adalah adanya suatu fakta bahwa ada Maria Joanni (lihat gambar) dari Surabaya, yang meski baru berusia 10 tahun namun sudah memikirkan pentingnya kelestarian alam sehingga dengan tegas ia mengatakan apa yang dia lakukan dan pikirkan sekarang ini adalah untuk anak cucu kelak. Joanni yang masih duduk di kelas lima SD ini begitu kritis terhadap penggunaan barang yang mengandung bahan perusak ozon. Saking kritisnya, Joanni pernah melakukan protes kepada panitia sebuah acara berlingkup nasional yang memberinya konsumsi dengan pembungkus sterefoam. ”Pembungkus sterofoam kan tidak ramah ozon, makanya aku menolak,” ujar Joanni yang mengaku sering pula tidak jadi makan di restoran kalau kemasannya menggunakan sterefoam.Karena keberanian serta sikap kritisnya tersebut, Joanni mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Ozon atau Ozone Hero dari Klub Tunas Hijau. Joanni berusia 10 tahun berpikir ke depan, jauh ke masa depan, pada usia yang masih begitu muda dan hijau, dan anehnya para penonton dan masyarakat berdecak kagum dan salut dengan integritas dan pola pikir Joani, termasuk sayapun mengaguminya.


Namun pada saat yang sama saya membaca berita di mana justru para “orang tua” juga lagi sibuk memikirkan sesuatu yang menurut mereka juga untuk menyelamatkan “anak cucu” dari bahaya yang sudah paling kuno yaitu prostitusi. Tindakan itu adalah dengan beramai-ramai membuat Perda yang mengharuskan panti-panti pijat menggunakan gembok yang harus digunakan oleh para wanita pemijat pada celana dalamnya. Hal ini dilakukan karena panti pijat disinyalir adalah tempat terjadinya praktik prostitusi terselubung. Berbeda dengan Joanni yang menuai rasa salut dan kagum atas apa yang menjadi keputusannya, maka Perda tentang penggunaan celana dalam ini justru menuai kritik dari para pembaca berbagai media. Kritik-kritik tersebut sangat tidak mengenakkan. Masyarakat kecewa, dengan keputusan pemerintah ini, bukan karena mereka melakukan prostitusi di panti pijat, tetapi lebih kepada penyederhanaan suatu masalah. Masyarakat berpendapat betapa sederhananya pola pikir “orang tua” kita yang menjabat di pemerintahan, ada yang berpendapat, negara lain sudah menduduki bulan, pejabat ini masih ngurusi maaf celana dalam. Bagaimana negara ini bisa maju jika yang dipikirkan adalah masalah yang begitu pragmatis namun tidak menjawab permasalahannya.


Saya membaca berita itu sudah seminggu yang lalu. Nah baru saja saya membaca salah satu koran harian, yang dalam salah satu tulisannya mengungkap sisi pelaku dan penikmat panti pijat. Dengan perda ini mereka tetap merasa tidak pengaruh, soalnya apa sih fungsinya gembok? Toh yang pegang kunci? Gembok juga “orang sendiri.” Artinya keputusan tersebut tidak berpengaruh besar. Para orang tua ini lupa bahwa yang perlu diberi perhatian bukan celana dalam yang digembok tetapi hati yang “digembok.” Artinya hati manusia adalah pusat segala hal yang dikerjakan oleh manusia. Maka oleh sebab itu, lebih mengubah hati dengan siraman-siraman rohani lebih penting dari sekedar menggembok celana dalam. Masalahnya adalah justru tempat-tempat di mana hati bisa diperbaiki dan diperbarui justru tidak mendapat perhatian yang serius. Orang membangun tempat maksiat lebih mudah daripada membangun tempat ibadah. Masalahnya siapakah yang mengizinkan tempat panti-panti pijat, bar, karaoke, night club, bahkan lokalisasi-lokalisasi bukankah juga para “orang tua” yang menduduki jabatan dan disebut-sebut sebagai berpengalaman dan juga kadang-kadang menyebut diri mereka ahlinya?


Akhirnya kegelisahan-demi kegelisahan masyarakat muncul juga dengan malasnya masyarakat dengan figur “orang tua” yang itu-itu juga dan keputusannya itu-itu juga. Sehingga hal ini membuat masyarakat mulai beralih kepada figur-figur “muda.” Bahkan partai politik yang besar pun sekarang sudah tidak lagi menjamin untuk mendapatkan simpati masyarakat, karena apa? Keputusan-keputusan yang diambil hanya sebatas itu-itu juga, yaitu yang “dibawah.” Sudah saatnya para pemimpin ini belajar dari Joanni yang berusia 10 tahun kelas 5 SD, tetapi berpikir maju puluhan tahun ke depan, bagi anak cucu, bagi generasi penerus, yang terus berpikir bahwa dunia ini adalah milik Tuhan yang dititipkan untuk dipelihara dengan bertanggung jawab. Lalu bagaimana dengan kita yang sudah bertambah umur? sudahkah kita melihat seperti Joanni melihat bahwa segala hal di dunia ini adalah milik Tuhan, yang pada saatnya nanti harus kita pertanggungjawabkan penggunaannya dihadapan Tuhan. Sudahkah keputusan-keputusan hidup yang kita ambil mencerminkan pertanggungjawaban kita atas dunia (baca: Kerajaan Allah) yang Tuhan sudah percayakan kepada kita?


“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.”

(Markus 10:15)

Berbahagialah Orang Yang Mengandalkan Tuhan



Berbahagialah Orang Yang Mengandalkan Tuhan

2007 merupakan musim yang mengesankan bagi Kaka. Kariernya pada musim ini ditutup dengan raihan gelar pribadi paling prestisius, sebagai FIFA World Player 2007. Penghargaan tersebut diberikan kepada pemilik nama lengkap Ricardo Izecson dos Santos Leite itu pada penganugerahan di Opera House Zurich, Swiss. Dia menerima langsung penghargaan tersebut dari legendaris sepak bola dunia yang juga seniornya di timnas Brasil, Pele.


Kaka meraih penghargaan tersebut dengan mengumpulkan nilai cukup telak 1.047. Dia menyisihkan dua kandidat utama pemain terbaik dunia lainnya, Lionel Messi (Argentina/Barcelona) yang hanya mengantongi 504 poin dan Cristiano Ronaldo (Portugal/ Manchester United) yang mendapat 426 poin. Striker Pantai Gading yang bermain di Chelsea Didier Drogba, yang juga difavoritkan menerima anugerah ini, berada di urutan keempat dengan jumlah nilai 209.


Bintang Barcelona Ronaldinho, peraih penghargaan ini pada 2004 dan 2005,nangkring di posisi kelima. Buat Kaka, gelar terbaik dunia 2007 itu menjadi pelengkap anugerah yang sudah dia raih sepanjang tahun ini.Sebelumnya,pemilik nomor 22 di Milan itu sudah menerima penghargaan sebagai pemain terbaik di Liga Champions.


Kemudian,dia juga dipilih sebagai pemain terbaik dunia versi federasi pemain profesional dunia (FIFPro). Lalu, pemain terbaik eropa atau Ballon d’Or,pemain terbaik versi majalah World Soccer, dan pemain terbaik pada Piala Dunia Antarklub di Jepang juga diraihnya. Ia berkata ’’Malam ini sangat spesial bagi saya,” ungkap Kaka, yang langsung terbang dari Tokyo ke Zurich,Swiss, setelah mengantarkan Milan menjadi juara Piala Dunia Antarklub pascamenundukkan Boca Juniors 4-2 di partai pamungkas.


’’Saat kanak-kanak, saya memimpikan bermain di Sao Paulo dan bermain hanya sekali untuk timnas Brasil.Namun,Alkitab berkata,’’ Tuhan akan selalu memberikan yang lebih dari apa yang diminta’’. Inilah yang terjadi dalam hidup saya,” paparnya, sebagaimana dilansir Reuters. Kaka menambahkan,Tuhan selalu tak lepas dalam kehidupannya. Ya, sebagai penganut Kristen Evangelis yang taat, pemuda 25 tahun itu selalu mengungkapkan terima kasihnya kepada Sang Pencipta atas apa pun yang dia terima dalam hidupnya. ’’Saya selalu memikirkan memenangi ini (penghargaan FIFA).


Meski sempat absen membela Brasil di Copa America pada Juli lalu,Pele menyatakan, kontribusi Kaka di level timnas lebih baik ketimbang dua pesaingnya tersebut. ’’Ronaldo dan Messi menunjukkan talenta hebatnya tahun ini.Namun, mereka tidak menjadi sosok yang menentukan di timnas.Kaka telah bermain di level ini selama empat tahun untuk Brasil.Dia bermain luar biasa di posisi gelan- dang. Dia juga contoh baik di lapangan. Dia merupakan pemain yang komplet,”tutur Pele.


Kaka memang akrab di mata khalayak fans sebagai seorang yang relijius. Anak asuh Carlo Ancelotti itu mengaku suatu hari nanti dia ingin menjadi seorang pendeta evangelis ketika telah menggantung sepatunya alias pensiun.


Tidak aneh jika mantan pemain Sao Paulo ini selalu dekat dengan Tuhannya. Keterlibatan dia dengan Tuhannya dia mulai sejak berusia 12 tahun. Hingga kini Kaka adalah anggota sebuah badan yang bernama "Atlet Tuhan”.


Itulah ketika berhasil mencetak sebuah gol, pemain yang biasa dipanggil berbagai media di Eropa Rikcy itu selalu menunjuk ke atas. Itu adalah gerakan tubuh baginya yang tengah mengucapkan terima kasih kepada Tuhannya, Yesus Kristus. (lihat gambar)


Sikap relijius Kaka bahkan sampai selera musiknya. Dia mengaku hanya menyukai jenis-jenis musik gospel, ditambah Alkitab sebagai buku pegangan utamanya.


"Saya harus belajar teologi dan harus mengambil studi yang menghususkan tentang Alkitab,” ungkap Kaka, seperti dilansir Tribalfootball.
* Dikutip dari berbagai sumber

Tuesday, April 15, 2008

“SQUARE WATERMELON”



“SQUARE WATERMELON”

Apakah kalian bisa melihat gambar di atas? Ya pastilah sebagian besar tahu bahwa itu adalah buah semangka. Tapi kita juga bisa melihat perbedaannya. Perbedaannya adalah yang satu tetaplah bulat sebagaimana layaknya semangka kebanyakan. Tetapi, yang lainnya lagi adalah sesuatu yang tidak biasa menurut kita sebagai orang Indonesia, yaitu semangka yang berbentuk kubus.


Apakah keistimewaannya, yah, keistimewaannya adalah terletak pada bentuknya, dan karena bentuknya yang aneh maka banyak yang terpikat. Bahkan harga dari semangka ini tidak main-main, jika dirupiahkan akan menjadi sekitar Rp. 1,3 juta, mahal bukan.


Semangka ini bisa berbentuk kubus karena memang dibentuk oleh pemiliknya. Semangka ini dikembangkan di negara Jepang yang juga sukses dengan bonsainya. Semangka ini, sejak tumbuh dan sudah kelihatan sebagai buah sudah dibentuk ke dalam kotak-kotak kubus. Dan ini terus berlanjut pada saat buah semangka ini menjadi besar. Setelah kotak itu dilepas maka, semangka itu akan berubah bentuk mengikuti polanya, yaitu kubus. Sepertinya hal ini sungguh aneh dan tidak mungkin, tetapi ternyata bisa dilakukan. Semangka ini bukan lagi menjadi semangka yang biasa-biasa, tetapi menjadi semangka yang luar biasa yang diinginkan banyak orang dan berharga mahal.


Apa yang bisa kita pelajari?


Sebagai umat manusia seringkali kita terlahir menjadi orang yang biasa-biasa, tetapi sebenarnya perubahan kepada arah yang lebih baik, bisa dilakukan. Menjadi berubah tidaklah enak, kadang-kadang tidak nyaman karena kita merasa tidak menjadi diri kita. Padahal yang diubah bukanlah Siapa kita tetapi bagaimana kita. Siapa kita tetaplah orang yang berdosa penuh cacat cela, tidak sempurna dan penuh kelemahan. Tetapi ada Allah yang mau dan terus berjuang mengubah kita seperti semangka yang ditempatkan dalam cetakan kubus, pasti sakit, karena harus menyesuiakan diri dengan cetakannya. Demikian sebagai orang percaya, kita terus diubah oleh Allah di dalam karakter kita sesuai dengan “cetakan” yaitu Yesus. Sehingga kita bukan lagi menjadi orang yang biasa-biasa tetapi orang yang tidak biasa bagi orang lain, orang yang memiliki nilai plus, dan semakin menjadi berkat bagi orang lain.

GARAM BODY SHOP


GARAM BODY SHOP

Perusahaan “Body Shop” adalah perusahaan yang terkenal dengan nilai-nilai etisnya di dalam menghasilkan produk-produk kosmetika. Misalnya, Body Shop tidak menggunakan binatang-binatang sebagai bahan kelinci percobaan, mereka sangat berkomitmen untuk meningkatkan perekonomian para penghasil bahan-bahan kosmetik di kawasan negara-negara dunia ketiga, mereka juga menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup, menentang (KDRT) Kekerasan dalam rumah tangga, dan terus mengobarkan semangat kepercayaan diri (self-esteem) bagi semua wanita.


Namun tiba-tiba, Dame Anita Roddick, pendiri perusahaan kosmetik “Bodyshop”. Menyatakan bahwa saham Body Shop telah dijual kepada perusahaan kosmetik raksasa L’Oreal pada tahun 2006. Banyak orang sangat kecewa dengan keputusan dari Body Shop ini, apa sebab? Karena perusahaan L’Oreal adalah perusahaan yang dijuluki sebagai perusahaan yang paling tidak bertanggung jawab di dunia. Sehingga media surat kabar “The Independent” melakukan polling dan hasilnya masyarakat sangat kecewa. Popularitas Body Shop kian menurun dengan adanya keputusan ini, sehingga menimbulkan kritik tajam dari berbagai pihak.


Menanggapi berbagai kritikan tersebut Dame Anita Roddick berkata, “Justru dengan masuknya Body Shop ke jajaran L’Oreal, kami bisa menularkan nilai-nilai luhur kami kepada L’Oreal.” Ini adalah keputusan yang mengejutkan, yaitu adanya komitmen untuk mempunyai pengaruh yang baik ditengah segala situasi yang tidak baik. Roddick bersama Body Shop-nya tidak ingin masuk terjerumus kepada sistem yang dibangun L’Oreal tetapi justru ingin “menggarami” L’Oreal dengan nilai-nilai luhur yang diyakininya.


Bagaimana dengan orang beriman atau orang beragama? Apakah kita juga malah ingin ikut-ikutan terjebak sistem? Kita dituntut menjadi garam untuk menggarami dan mencegah terjadinya “ke-busuk-an” bukan ikut-ikutan menjadi busuk. Orang Kristen seringkali hanya ingin berada ditempat yang sudah ok, kalau begitu mana fungsi garamnya? Padahal kita dituntut bukan untuk menggarami lautan, percuma kalau kita menggarami lautan.


“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.”

(Matius 5:13)

Sunday, March 23, 2008

Gereja dan Permasalahan Alat Musik Dalam Ibadah?




Gereja dan Permasalahan Alat Musik Dalam Ibadah?*


Pendahuluan


Akhir-akhir ini, diskusi tentang penggunaan band dalam ibadah sudah semakin menghangat, dan gereja GKI sedang berespon dan sedang menggeliat dalam pergumulan ini. Banyak anak-anak muda GKI yang mulai ikut-ikutan model kebaktian yang ”lain,” karena dalam ibadah itu mereka menggunakan peralatan musik yang lebih lengkap dan lebih spontan. Oleh sebab itu, penulis ingin mencoba mengupas permasalahan gereja dan permasalahan alat musik dalam ibadah ini. Tulisan ini sekedar sebagai sharing karena penulis merasa sebagai orang GKI, jadi rekan-rekan tidak harus setuju dengan penulis, tetapi semoga tulisan ini menjadi wacana yang bisa memberkati rekan-rekan semua.


Arti Kata Ibadah


Arti kata ibadah di dalam Alkitab sangat luas, tetapi konsep asli kata ibadat dalam PL dan PB artinya “pelayanan.” Kata Ibrani avoda dan Yunani latreia pada mulanya menyatakan pekerjaan budak atau hamba. Para hamba/budak ini sangat menghargai raja ataupun tuan yang mereka layani. Mereka melaksanakan pekerjaan pelayanan mereka dengan sungguh-sungguh, dan dengan perasaan kagum tetapi bukan hanya itu mereka berbahagia atas kepercayaan yang ditugaskan kepada mereka dengan penuh kagum dan hormat. Tetapi pada intinya, bagi seorang hamba/budak tugas utama mereka adalah melakukan segala sesuatu untuk tuan mereka. Apa yang dipikirkan hamba/budak adalah apa sih yang membuat tuan mereka senang? Apa sih yang diinginkan tuan mereka? Fokus ibadah adalah tuan kita, permasalahannya siapa sih yang menjadi tuan kita? Tuhan, ego kita, kesenangan kita, kenyamanan kita, atau bahkan bisa terjadi tradisi kita? Biarkan ini menjadi pergumulan kita, sebenarnya di manakah kita berpijak.


Jangan Kehilangan Fokus


Kita harus selalu berpegang pada prinsip bahwa tujuan ibadah adalah untuk menyenangkan hati Tuhan. Hal ini penting, karena seringkali manusia lupa untuk apa sebenarnya manusia beribadah kepada Tuhan, karena bagi saya kita bisa terjebak dan nyaman pada hal yang pertama, yaitu sebenarnya menyukakan diri sendiri yang akhirnya kehilangan fokus kepada tujuan ibadah itu sendiri. Sehingga, pertanyaan apakah boleh menggunakan band untuk ibadah justru bukanlah pertanyaan utamanya. Bahkan bagi gereja kita, yang sudah lama menggunakan organ/piano pertanyaan utamanya bukanlah mengapa kita harus menggunakan organ/piano? Sebab, baik organ, piano ataupun alat-alat musik yang lain, hanyalah sebagai alat untuk mengiringi ibadah kita supaya menjadi lebih baik dan lebih indah. Ingatlah alat-alat itu bukanlah tujuan utamanya, alat adalah sarana yang harus kita mainkan dengan maksimal.


Gereja yang menjadikan alat sebagai tujuan akan sangat mengagung-agungkan alat di dalam ibadah. Akibatnya, gereja yang demikian akan cenderung tertutup untuk menerima kemungkinan-kemungkinan yang lain dalam ibadah mereka dan cenderung statis. Akibatnya gereja menjadi mandeg dan stagnan. Tetapi bisa jadi menjadi ekstrem yang lain, karena begitu mengagung-agungkan alat, dalam hal ini alat musiknya, maka gereja hanya memfokuskan diri bagaimana supaya musiknya bagus, mereka mati-matian untuk menggembleng para pemusiknya, ditambah lagi mereka terus memfokuskan diri kepada “hunting” alat-alat terbaru, tapi masalah kerohanian para pemusiknya? belum tahu. Nah, baru-baru diadakan suatu pertemuan bagi para hamba Tuhan pembina komisi remaja & pemuda, dan anehnya banyak hamba Tuhan yang merasa bahwa yang banyak bermasalah dan terus tenggelam dalam keberdosaan adalah mereka yang melayani dalam bidang musik. Hal ini, kemungkinannya karena pembinaan yang menekankan tentang perubahan diri yang menjadi tujuan dari ibadah cenderung diabaikan.


Ibadah Adalah Pertemuan Tuhan dengan Umat-Nya dalam Konteks


Allah ingin ada pertemuan dengan umat-Nya pada saat ibadah. Jadi, ibadah juga menuntut peran serta umat untuk mengambil bagian di dalam ibadah. Ibadah adalah Inisiatif Allah yang dikerjakan oleh manusia. Artinya ibadah itu sendiri adalah perintah Tuhan kepada manusia, tetapi yang pengerjaannya dilakukan oleh manusia. Karena ibadah merupakan kegiatan sinergi antara Allah dan manusia maka jelas, bahwa ibadah bersifat ilahi dan manusiawi. Ilahi artinya ibadah harus selalu berlandaskan akan sifat-sifat Allah sendiri, yaitu Allah yang kudus, Allah yang suci, Allah yang maha tinggi, Allah Yang maha Kuasa yang harus kita sembah dengan hormat. tetapi di sisi lain ibadah juga bersifat manusiawi, yaitu ibadah adalah respon manusia kepada pencipta-Nya. Bagi kita sebagai orang Kristen, ibadah juga merupakan respon ungkapan syukur atas penyelamatan yang Tuhan sudah kerjakan di dalam kehidupan kita.


Jadi, karena ibadah merupakan respon ungkapan syukur dan kekaguman manusia terhadap kebaikan Tuhan, tentunya dalam hal melakukan cara-cara beribadah manusia dipengaruhi oleh konteks di mana manusia itu berada, manusia dipengaruhi oleh zaman seperti apa manusia itu hidup. Kenapa saya bisa berkata demikian, karena jelas dalam hal yang kita bicarakan, yaitu alat penggunaan alat musik ibadah di dalam gereja sendiri juga mengalami perkembangan sesuai dengan konteks zaman. Saya kadang menjadi heran, mengapa ada gereja di masa modern ini mempermasahkan tidak boleh menggunakan band, harus organ ataupun piano, tetapi tidak melihat bahwa zaman dahulu gereja awal-awal tidak ada organ ataupun piano, yang ada hanyalah alat-alat musik yang sederhana, toh mereka memuji Tuhan.


Masalahnya, Alkitab sendiri tidaklah meggambarkan dengan jelas alat-alat musik apa yang boleh dan tidak boleh digunakan di dalam ibadah. Tetapi yang jelas musik adalah menjadi bagian yang sangat penting bagi kebudayaan Ibrani, antara lain kecapi & suling (Kej. 4:21), rebana (Kej. 31: 27), gambus (2Taw. 20:28). Namun secara sederhana alat musik di dalam Alkitab dapat digolongkan menjadi 3 macam yaitu pertama alat bertali; yang meliputi kecapi, kinnor, gambus, rebab, serdam. Kedua, alat –alat tiup yang meliputi seruling, sangkakala, kelentung. Ketiga, alat-alat yang dipukul diantaranya; giring-giring, ceracap, rebana. Semuanya itu adalah alat musik yang dipakai oleh kaum Ibrani. Bagi penulis, hal ini menarik sampai Alkitab sendiri tidak menuliskan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh di dalam bait Allah. Sebab, alat musik pada dasarnya adalah netral, ia tidak kudus, tetapi juga tidak dosa, tetapi nilai kudus dan tidaknya alat musik bergantung terhadap dipakai untuk apa dan siapa yang memakainya. Jadi, bukan masalah alat musiknya tetapi kembali lagi ke titik awal, dipakai untuk tujuan apa dan siapa yang memakainya. Seperti pisau, bagi seorang koki ia akan menjadikan pisau itu alat untuk dapat menyajikan masakan yang enak dan menarik, tetapi bagi seorang pembunuh pisau bisa digunakan untuk kejahatan.


Jika musik adalah hasil karya cipta manusia, itu berarti musik ataupun alat musik itu akan terus berkembang. hal ini dikarenakan Tuhan itu kreatif, dan Tuhan terus mencipta dan terus berkreasi bersama dengan manusia. Penulis yakin Tuhan tidak berhenti berkarya, Tuhan tidak mandeg. Di setiap zaman, Tuhan membangkitkan orang-orang dengan talenta-talenta yang unik, salah satunya musik. Musik terus berkembang, karena musik berkembang maka alat musik juga berkembang. Hal ini adalah wajar dan bukan sesuatu yang aneh. Menjadi aneh justru jika tidak ada perkembangan. Apa yang dulu belum ditemukan oleh manusia sekarang sudah ditemukan. Kenapa bisa demikian? jawabannya karena Tuhan masih terus menciptakan manusia. Allah adalah Allah yang mencipta, bukankah manusia sebagai gambar Allah juga mempunyai ”gen’ sebagai manusia yang ”mencipta” juga? Saya pikir, jika kita bersikap tertutup akan hal ini, jangan-jangan kita sudah mulai berpikir bahwa Tuhan sudah berhenti mencipta, tidak bukan? Jika sekarang ini banyak terdapat banyak ragam ”ciptaan” manusia sebaiknya kita tidak menghindarinya.


Baik musik dan alat musik adalah hasil olah cipta manusia, dan saya sangat menyetujuinya. Maka oleh sebab itulah saya berani mengatakan bahwa akhirnya apa yang dikerjakan oleh manusia biasanya dipengaruhi oleh budaya yang ada di sekitarnya.
Sebagai contoh, adalah warna musik-musik yang kita gunakan di gereja GKI yaitu NKB & KJ bahkan sekarang sudah ada PKJ. Menurut hemat penulis, itu adalah pergumulan para penggubah lagu sesuai dengan konteks zaman di mana mereka hidup, jika kita teliti satu persatu maka akan tampak perbedaan warna lagu dari setiap zaman. Sebagai contoh kenapa lagu-lagu ciptaan Martin Luther sepertinya bernuansa perang? Ya karena pada saat menciptakan sedang dalam konteks reformasi ”perang” terhadap pengajaran yang menyimpang. Kenapa sih kita pakai organ dan piano? Ya karena gereja GKI pada awalnya didirikan dengan pengaruh gereja-gereja Belanda yang memang menggunakan piano ataupun organ dalam ibadah mereka pada masa itu. Pada dasarnya, kita ini hanya meneruskan tradisi, tradisi siapa? tradisi gereja Belanda, dengan konsep demikian ini jangan heran kalau kita sebagai orang Kristen dianggap mengikuti agama penjajah, soalnya ibadah kita sendiri juga ke-belanda-belanda-an, kita harus mengakui hal ini.


Menurut penulis, jika gereja kita masih menggunakan lagu-lagu dan alat musik yang semacam ini dan dengan warna liturgi yang seperti itu, bukanlah masalah Alkitabiah, tetapi lebih kepada masalah sejarah. Sehingga seperti pepatah ”jasmerah” jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, terpatri kuat dalam lingkungan gereja kita. Kenapa hal ini bisa terjadi? Ya, karena tidak semua yang berbau sejarah itu negatif. Sejarah ada yang positif juga, nah yang positif itulah yang ingin terus dipertahankan. Apakah mempertahankan sesuatu yang positif itu jelek? Tidak, mempertahankan yang positif itu justru sangat baik, yang menjadi tidak baik adalah jika karena kita sudah menganggap itu baik, maka kita sudah menganggapnya sebagai hasil final, kita mandeg dan berhenti berkarya. Padahal sejarah dan konteks itu pasti berubah, dan kita sebagai umat Tuhan dituntut untuk menggumulkan konteks zaman. Tuhan Yesus yang adalah Allah datang kepada manusia dengan menjadi manusia (karena Yesus ingin berjalan dalam konteks manusia itu hidup).


Konteks Masa Sekarang


Nah, sekarang permasalahannya, dalam konteks seperti apa jemaat Tuhan itu hidup? Jika zaman dahulu menggunakan organ/piano, karena pada masa masa tersebut memang alat musik yang digunakan adalah itu. Tetapi sekarang zaman berubah, pengaruh media sudah semakin luar biasa dan luas, jemaat Tuhan sudah mulai melihat banyaknya pilihan di dalam hidup, termasuk dalam hal musik. Kalau dulu kita mungkin aman-aman saja dengan hanya menggunakan piano/organ saja. Tapi sekarang, dengan media yang ada, para remaja kita sudah bisa menyaksikan bentuk ibadah yang ”lain” dari gerejanya, dan mereka bertanya-tanya? kok di gereja itu bisa begitu ya ibadahnya? Kadang-kadang kalo mau jujur lebih sesuai dengan jiwa mereka yang enerjik, aktif, spontan, kreatif, dinamis, serta membuat mereka dapat menggunakan emosi mereka.


Orang berkata, zaman kita hidup sekarang adalah zaman posmodern, zaman ini adalah counter terhadap zaman modern yang lebih bersifat rasionalis dan logis, yang menghilangkan aspek pengalaman dan emosi. Zaman Posmodern ini juga adalah zaman yang ingin menyangkali otoritas, dan menekankan relativisme. Memang bagi penulis tidak sepenuhnya setuju dengan semangat zaman yang demikian ini, tetapi ada sisi-sisi positif yang bisa menjadi catatan buat kita. Pertama, zaman posmodern sangat menghargai komunitas, komunitas juga mempunyai peran untuk mengambil langkah, nah artinya jika kita terjemahkan ke dalam situasi jemaat kita sebagai komunitas maka kita harus melihat mereka ini adalah orang-orang di dalam budaya yang seperti apa? kedua, emosi manusia dihargai, ini adalah bagian yang penting yang mungkin hilang karena pengaruh modernisme, kita seringkali mengatakan ibadah jangan mengumbar emosi, padahal kenyataannya memang kemungkinannya kita sudah kehilangan emosi kita karena kita pendam jauh-jauh, padahal kenyataannya Tuhanlah yang menciptakan emosi agar kehidupan kita sebagai manusia menjadi lebih utuh, dan menjadi lebih manusiawi, dan Tuhan lebih senang kita jujur dengan emosi kita. Ketiga, mempertanyakan kembali otoritas ataupun ke-absolutan. Bukan berarti penulis tidak setuju dengan otoritas ataupun sesuatu yang absolut, tetapi melalui semangat posmodern ini seharusnya kita semakin disadarkan untuk melihat dengan jelas memandang yang relatif sebagai yang relatif, jangan yang relatif diabsolutkan. Menurut hemat penulis, masalah penggunaan alat musik adalah masalah relatif, artinya alat musik bukanlah segala-galanya, alat musik bukanlah Tuhan, alat musik bukanlah yang kita sembah, alat musik bukanlah yang menjadi standard kita. tetapi yang menjadi standard dalam ibadah adalah Allah sendiri sebagai yang Absolute yang harus menerima segala hormat dan pujian kita.


Penulis teringat dengan salah satu kisah yang ditulis oleh Phillip Yancey, ia adalah seorang injili konservatif, sangat menyukai musik klasik, pandai bermain piano klasik, dan sangat menyukai hymnal, dan dibesarkan dalam model gereja yang tradisional seperti gereja kita. Ia memiliki kakak yang kuliah dalam bidang musik, kakaknya adalah pecinta musik klasik, dan juga adalah seorang yang pandai. Suatu kali kakak Yancey meneliti tentang jenis musik rock. Di dalam penelitiannya, ia temukan bahwa tidak ada bukti di dalam Alkitab yang dapat dijadikan dasar untuk melarang penggunaan jenis musik ini di dalam gereja. Dosen yang membimbingnya juga tidak mempunyai sanggahan yang kuat untuk melawan penelitiannya. Tapi sang dosen, tetap bersikukuh mengatakan ”pokoknya tidak boleh,” ironis bukan?


Pelayanan yang Luas dan Tanggung Jawabnya


Pertanyaan lain yang perlu kita pikirkan adalah apakah Tuhan hanya memperkenankan orang yang memiliki talenta untuk bermain musik dengan piano/organ saja? Tidak bukan? Sebab Tuhan memberikan talenta yang begitu luas dan begitu beragam kepada umat-Nya untuk melayani Dia. Bayangkan kalau hanya pemain piano saja atau pemain organ saja yang diperkenankan Tuhan untuk melayani Dia, berarti hanya sedikit orang saja yang bisa melayani Dia. Padahal secara konsep perumpamaan tentang talenta kita tahu, bahwa talenta itu mesti dikembangkan tidak boleh dipendam ataupun dihilangkan. Bahkan Tuhan sendiri menjadi marah ketika orang memendam talentanya dan tidak mengembangkannya. Menurut hemat penulis, jika kita sebagai gereja tidak memberi kesempatan kepada mereka dalam bidang musik di luar organ atau piano, atau dalam bidang apapun, sebenarnya kita telah berdosa, karena kita sebagai gereja telah menghalang-halangi seseorang untuk mengembangkan talentanya. Jadi jika benar, jikalau ada orang-orang yang dikaruniai talenta untuk bermain band tidak boleh bermain untuk ibadah di gereja, jadi dimanakah mereka harus main band? hanya di kafe-kafekah? hanya di night club – nigt club kah? di tempat-tempat yang justru membuat mereka dekat dengan dosakah? hanya diresepsi pernikahankah? Tidak bukan? Jika mereka adalah milik Tuhan, merekapun juga harus bermain musik untuk Tuhan.


Banyak juga yang berpikir bahwa ibadah menggunakan band terlalu berisik, tidak harmonis, musik terlalu keras, dll. Bagi penulis, ini adalah masalah yang serius, justru karena masalah yang seriuslah maka justru inilah tanggung jawab pelayanan itu. Segala pelayanan untuk Tuhan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, tidak serampangan, tidak amburadul. Orang yang melayani Tuhan harus mempunyai skill bukan cuma sikil (baca: modal ala kadarnya). jadi ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

1. Pemusik harus disiapkan sungguh-sungguh, bukan hanya kemampuan bermain musiknya tetapi juga karakter pribadinya, dan juga pengenalan terhadap karakteristik alat musik yang dipergunakannya, sehingga diharapkan pelayan musik di gereja punya semangat profesional dalam bermain musik untuk Tuhan.

2. Masalah musik yang terlalu kencang, ada beberapa faktor, salah satunya adalah petugas soundman yang mengatur suara. Soundman adalah salah satu bidang pelayanan yang membutuhkan talenta. Sebagai anggota jemaat GKI penulis juga kadang merasa jengkel karena gereja-gereja GKI menganggap remeh pelayanan yang demikian ini, gereja lebih prefer menggunakan koster yang hanya menghidupkan sound terus ditinggal dan selesai dimatikan, daripada mencari anggota jemaat/koster yang memang mempunyai talenta sebagai soundman, bukankah dengan demikian memberikan kesempatan kepada yang memiliki talenta ini untuk melayani Tuhan?

3. Ketakutan yang lain adalah sebagian besar gereja GKI dekat dengan pemukiman penduduk sehingga ketika menggunakan band, maka suara akan mengganggu tetangga sekitar. Bagi penulis ketakutan yang demikian ini bukanlah tanpa alasan, penulis menghargai sikap hati yang mau memikirkan perasaan penduduk sekitar jika karena musik gereja, mereka terganggu. Tetapi jangan dengan adanya permasalahan yang demikian ini sepertinya tidak ada solusi lain. Salah satu solusinya adalah ruangan gereja perlu di treatment akustik, dalam hal ini banyak sekali anak-anak Tuhan yang mempunyai usaha dalam bidang ini. Gereja bisa berkonsultasi dengan orang-orang yang memiliki talenta yang demikian ini.


Meskipun dalam tulisan ini sepertinya penulis menitikberatkan penggunaan band daripada organ/piano, bukan berarti penulis tidak memberi sorotan bagi gereja yang ingin tetap mempertahankan tradisi ini. Namun bagi penulis, jika gereja GKI menganggap bahwa musik hymnal adalah musik yang agung, musik yang indah, maka buktikanlah di dalam ibadah-ibadah kita. Penulis sangat mendukung bagi gereja yang masih ingin mempertahankan musik hymnal, hanya saja jangan setengah-setengah. Karena jujur, penulis merasa sering dikecewakan oleh gereja GKI yang menganggap musik hymnal adalah musik yang agung tetapi di dalam ibadah tidak ditampakkan yang demikian. Latihan lagu 15 menit sebelum ibadah tanpa persiapan juga bukanlah hal yang menyenangkan Tuhan kita. Kalau kita sebagai jemaat GKI menganggap hymnal sebagai musik yang agung maka perlu digarap semaksimal mungkin.


Selain itu, penulis bukanlah orang yang mengagung-agungkan ibadah dengan menggunakan Band ataupun juga lagu Hymnal yang hanya menggunakan organ atau piano. Tetapi penulis lebih menitik beratkan kepada permasalahan bahwa segala alat musik dan jenis musik haruslah untuk memuliakan nama Tuhan, dan gereja harus bergumul dengan konteksnya masing-masing. Mengapa penulis menyimpulkan demikian? karena banyak gereja-gereja yang tidak mampu beli organ, piano, ataupun band, tapi toh mereka harus memuji Tuhan. Mereka menggunakan alat-alat sesuai dengan keadaan mereka. Sampai sekarang penulis masih terus terkesima dengan rekan-rekan dari GKI Tegalrejo Salatiga, yang di dalam berbagai kesempatan, mereka memuji Tuhan dengan menggunakan alat-alat dapur yang dijadikan musik. Sungguh indah, dan luar biasa untuk didengarkan, ini adalah sebagai suatu hasil karya kreatifitas manusia yang perlu diacungi jempol, untuk teman-teman dari GKI Tegalrejo penulis angkat topi buat kalian. Selain itu penulis juga pernah berkesempatan untuk melihat suatu gereja yang di desa, mereka tidak punya organ tetapi mereka punya gamelan, dan mereka gunakan itu. Ketika mereka memainkan puji-pujian kepada Tuhan, penulis terberkati dengan permainan gamelan mereka meskipun tidak pakai organ, piano, ataupun band. Hati yang mau memuji dan menyembah sang Khaliklah yang penting, hati yang mau memuji Tuhan atas karya keselamatan Tuhan dalam hidup merekalah yang membuat pujian itu agung, karena mereka tahu kepada siapa mereka memuji dan untuk apa.


Mengambil Keputusan dengan Bijaksana


Penulis juga menyoroti hal yang lain mengenai permasalahan penggunaan alat musik di gereja. Permasalahan yang seringkali timbul salah satunya adalah masalah gap generation. Memang, penilaian yang demikian tersebut tidaklah mutlak, tetapi minimal bisa dijadikan pertimbangan. Jika kita mau jujur, yang menyebabkan pertentangan adalah perbedaan generasi, antara yang senior dengan generasi yang lebih muda. Biasanya yang menghendaki menggunakan alat musik band adalah yang muda, dan generasi yang tualah yang biasanya masih terus menimbang-nimbang. Dalam hal ini kita yang muda harus menyadari, bahwa ”darah muda” kita senang dengan perubahan. Tetapi seringkali sebagai generasi yang lebih muda kita gagal untuk mengerti dan menghargai jerih payah dan ”prestasi-prestasi” yang telah dicapai oleh generasi yang lebih tua. Kita lupa bahwa generasi tua yang sekarang ini dulunya pernah menjalani masa muda seperti kita, mereka berjuang di gereja sama seperti kita sekarang para pemuda ingin ”mereformasi” gereja. Dulu gereja belum ada organ/piano, merekalah yang berjuang dengan jerih pelayanan mereka sampai kemudian gereja punya semua itu. Dulu gereja belum ada liturgi yang sebagus sekarang, dari hasil perjuangan merekalah liturgi GKI dapat tertata dengan baik seperti sekarang ini. Sekarang, mereka adalah generasi yang saat ini sedang menikmati kemenangan ”perang” di masa muda mereka.


Cara berpikir generasi tua adalah mengingat-ingat yang telah lalu, mereka adalah generasi yang mengingat sejarah, ini bukanlah kemunduran, tetapi sifat yang manusiawi. Kenapa? karena mereka telah berjuang dan sekarang tinggal menuai hasilnya. Nah, sekarang mari kita membayangkan jika tiba-tiba hasil yang mereka perjuangkan ini tiba-tiba berubah dari apa yang mereka cita-citakan? Maka akan terjadi ”kejutan” yang tidak menyenangkan bagi mereka. Terlebih lagi dengan model kita sebagai orang muda dengan ”ego” yang besar, yang selalu berpikir ke depan, yaitu sekarang dan yang akan datang. Kita siap untuk mengalami perubahan, dan akan sangat bangga jika bisa ikut dalam perubahan itu, hal itupun tidak salah. Tetapi jika kita paksakan maka apa hasilnya? wah ini sih pasti bisa ditebak, kita tidak ingin terjadi hal yang demikian bukan?


Oleh sebab itu sikap bijaksana, dan penuh hikmat adalah kuncinya. Penghargaan terhadap perjuangan mereka sudah sewajarnya kita berikan bagi mereka, karena bagaimanapun juga mereka adalah orang-orang yang telah dipakai Tuhan untuk memuliakan nama-Nya pada zamannya. Sehingga jika kita sebagai generasi muda ingin menambahkan sesuatu yang lain di dalam perjuangan mereka dahulu, ada baiknya kita tetap melibatkan usul dan sumbang saran mereka, jadikanlah generasi tua sebagai penasehat generasi yang lebih muda. Saya yakin sebagian besar generasi tua bukanlah orang yang ingin menghambat perubahan jika perubahan itu baik. Generasi tua ingin melihat bukti yang baik dari segala perubahan yang baik. Bagaimana mereka bisa menilai bahwa perubahan itu akan baik jika kita melakukannya dengan cara yang tidak baik? main hantam, seruduk sana seruduk sini, tidak jadi berkat bukan? Duduk diam berpikir bersama mereka mungkin salah satu hal yang dapat membuat mereka tahu kita menghargai mereka.


Penulis berkata bahwa kita ingin menambahkan dari apa yang telah mereka perjuangkan. Hal ini bukanlah tanpa maksud, karena bagi penulis, generasi muda adalah generasi penerus dari perjuangan generasi tua, dan seharusnyalah ”link’ itu tidak terputus. Terputusnya ”link” menandakan suatu ketidakberesan. Artinya, memelihara yang baik yang sudah mereka hasilkan adalah termasuk tugas kita. Sebaliknya, menghilangkan sama sekali apa yang sudah mereka kerjakan juga bukan sikap yang bijak. selain itu kita sebagai generasi muda mesti meneruskan karya mereka dan menambahkan apa yang belum sempat mereka wujudkan. Artinya, jangan hilangkan liturgi yang baik yang sudah ada, jangan hilangkan penggunaan organ/piano jika sebagian besar jemaat masih nyaman dengan itu. Namun, jika memang konteks sudah memungkinkan kita untuk melaksanakan ibadah dengan model yang lain, kenapa tidak kita lakukan dengan dukungan dari mereka juga. Bagaimana caranya? kita bisa gunakan angket, tentunya ini dengan persetujuan majelis. Dengan angket diharapkan kita mengetahui konteks dari anggota jemaat sendiri apakah mereka nyaman dengan perubahan tersebut, kalau sebagian besar sudah ”siap” kenapa tidak segera mulai? Namun jika hasilnya sebagian besar belum siap, mari dengan sadar dan rendah hati harus mengakui, memang bukan sekarang saatnya, sambil terus berdoa.


Penutup


Sebagai sharing, kami di GKI Ambarawa telah melaksanakan kebaktian dengan model yang lain dengan menggunakan alat musik band. Kami bersyukur, sebab generasi tua yang sebelumnya kami kira akan menentang upaya kebaktian dengan model yang demikian, malahan tidak terjadi. Justru di dalam berbagai kesempatan paduan suara usia indah (begitulah mereka ingin disebut, dan bukan lansia karena bagi mereka lansia berarti sudah lanjut di sia-sia/sudah lanjut disengsarakan) meminta diiringi dengan band. Kenapa hal ini bisa terjadi? karena terlebih dahulu sudah dishare- kan akan kemungkinan pilihan yang demikian ini, mereka yang tua tidak ditinggalkan tetapi dihargai keberadaannya. Misalnya dalam satu contoh kasus, ketika akan menggunakan band, Boksu kami sempat mempertanyakan dengan jiwa yang berbelas kasih kepada generasi tua, tentang apakah mereka bisa tahan dengan suara band yang pasti akan lebih keras daripada jika tidak menggunakan band (terlebih alat band di tempat kami bukanlah alat yang mahal, dan belum semua pemainnya profesional). Mereka menjawab ”Boksu tubuh kami tua, tapi jangan menghina kami, sebab kami berjiwa muda” maka bernyanyilah mereka dan bergoyang mengikuti irama band, dengan senyuman bahagia yang terpancar dari wajah renta, dan suara yang pasti sudah tidak merdu lagi mereka bersenandung:


”Yesus kekasih jiwaku sungguh kupercaya pada-Mu,
karena kasih-Mu padaku Kau tebus dosaku
dari terbitnya matahari dan sampai terbenamnya
kunaikkan lagu pujian Mashurkan nama-Nya

Dengan gendang kupuji-kupuji
dengan kecapi Ooooo
Kubernyanyi Haleluya Tinggikan Nama-Nya”


Yah, mereka menyanyi untuk Tuhan Yesusnya yang sudah menyelamatkan dosa mereka, Tuhan yang sudah begitu setia memelihara hingga masa tua mereka. Mereka beryanyi hanya bagi Tuhan Yesus mereka.


NIL NISI CHRISTUM PRAEDICARE
(To Proclaim Nothing but Christ)

* Tulisan ini dipersembahkan penulis untuk Gereja penulis yaitu GKI Ambarawa tercinta, sehingga jika konteksnya adalah GKI harap dimaklumi. Tulisan ini diambil dari tulisan yang sudah lama saya posting di Webnya GKI. Alasan ditulis di sini, he ... he... ya kira-kira supaya dilihat aktif nulis.



Andronikus Rony Susaka

Friday, March 21, 2008

KESINAMBUNGAN BETHLEHEM DENGAN GOLGOTA



KESINAMBUNGAN BETHLEHEM DENGAN GOLGOTA

(Matius 1:21, Lk. 2:8-15)



PENDAHULUAN



Di dalam Pengajaran Kekristenan yang benar, di dalam setiap peristiwa di dalam Alkitab akan memiliki satu mata rantai yang tidak pernah terputus satu dengan yang lain, demikian pula ketika kita merayakan Kesengsaraan Penyaliban dan Kematian Tuhan Yesus Kristus, maka mau tidak mau kitapun juga merelasikannya dengan kelahiran-Nya serta karya-karya Yesus di dalam dunia ini, oleh sebab itulah saat ini kita akan membahas tentang kesinambungan Bethlehem & Golgota, apakah yang terjadi di 2 tempat bersejarah yang ada di dalam kehidupan Yesus itu?


1. Bethlehem: Tengah Malam Pekat Pekat Ada Terang Besar, Golgota: Siang Hari Bolong Ada Kegelapan Yang Pekat



Apa maknanya peristiwa natal pertama itu didahului dengan adanya terang yang besar dan ada paduan suara malaikat? apakah supaya gereja bisa menyalakan lilin natal seperti yang setiap kali kita lakukan di hari natal? Bukan, tetapi peristiwa ini adalah gambaran akan Tuhan Yesus, seperti yang diterangkan oleh Yohanes Pasal 1 bahwa Terang (Yesus) itu sedang datang ke dalam dunia.
Frase di daerah itu Senja hari ada terang besar, maka makna sebenarnya adalah Yesuslah lilin Natal yang sesungguhnya, kontrasnya di daerah itu yaitu di daerah Yesus disalibkan justru siang hari bolong terjadi kegelapan yang sangat pekat. Apa maknanya bagi kita? Dunia yang gelap akan ada terang jika Yesus hadir, tetapi sebaliknya dunia yang gemerlap akan ada kegelapan yang pekat jika Yesus ditolak oleh manusia, namun bukan hanya itu dalam peristiwa golgota ada kegelapan yang pekat karena Yesus ditolak oleh Allah, dan ini adalah hal yang luar biasa Yesus ditolak Allah untuk menggantikan dunia yang ditolak oleh Allah, jadi Artinya adalah Dunia yang gemerlap ini akan sangat gelap dan pekat jika ditolak oleh Allah.
Lilin Natal yang sesungguhnya itu mati, dan mematikan dirinya. Tetapi kesesokan paginya fajar bersinar lilin natal, lilin kehidupan yang sesungguhnya yang memberi kehidupan itu menyala kembali
Yesaya 9:1, Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman atasnya terang telah bersinar.
Tuhan Yesus datang manusia berdosa memiliki pengharapan Yoh. 8 Akulah terang dunia barangsiapa mengikut aku ia tidak berjalan di dalam kegelapan, Yoh 5: Kamulah terang dunia.
Maka Kalau Yesus itu adalah terang dunia apakah Hidup kita sudah diterangi oleh-Nya? Sebenarnya, ada 3 tahap pertumbuhan rohani:
1. Melihat terang
2. Berjalan dalam terang
3. Menjadi Terang di dalam dunia, menerangi orang yang di sekelilingnya.


Maka apakah kita sudah menjadi terang? Celakalah jika kita yang sudah berpuluh-puluh tahun merayakan lilin natal, tetapi justru meniup dan mematikan lilin Natal, sehingga kita terus menyalibkan Kristus di dalam hidup kita, dan kita terus terjebak di dalam kondisi yang belum bisa memancarkan terang Kristus.


2. Bethlehem Misi dikumandangkan di Golgota Misi digenapi



Yesus tidak pernah mengumumkan visi, soalnya misi dibacakan oleh malaikat. Yesus datang bukan mencari tujuan hidup tetapi membawa tujuan hidup dari Allah. Visi Tuhan melekat pada nama-Nya, beri dia nama Yesus. Banyak anak muda terus mencari visi, tetapi sebenarnya ketika orang ditemukan Yesus maka orang itu akan menemukan visinya. Dalam hidupnya Yesus selalu memandang ke Yerusalem, hingga Petrus mencegah dan Yesus mengatai Petrus enyahlah engkau iblis. Kenapa Yesus marah? Petrus berusaha menggagalkan visi dan misi Yesus. Sehingga perjalanan yang berat itu harus dilewati, perjalanan yang berat bukanlah perjalanan jasmaninya, tetapi perjalanan rohaninya, yaitu supaya Yesus bisa berkata “Tetelestai” sudah selesai, Finish. Flp 2:6-10:


yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,”


Bethlehem memulai Visi, Golgota menggenapi visi, dan Yesus taat, supaya dunia diselamatkan.


Sudahkah kita taat untuk menjalankan kehendak Allah. Visi yang diberikan Tuhan, bukan diri
kita, bukan dunia, oleh orang tua. Visinya adalah perjalanan ketaatan, sudahkah kita taat, seperti Kristus mati. Hidup bukanlah memanifestasikan keinginan kita tetapi mentaati kehendak Allah dan jangan memprotes kehendak Allah. Yaitu Perjalanan Spiritual untuk Terus taat kepada kehendak Tuhan
William Carey berkata: Harapkan perkara besar dari Allah, lakukan perkara besar untuk Allah.
Jadi sebagai orang Kristen hendaknya kita terus meminta dan bertanya kepada Allah, untuk terus mewujudkan Kerajaan-Nya di dalam dunia ini.



3. Bethlehem Yesus Terancam Kematian Golgota Yesus Mengalami Kematian



Sejak kecil Yesus sudah diancam dibunuh oleh Herodes, kenapa? karena Herodes adalah orang yang “Paranoid” ia bunuh istri dan anaknya. Maka peribahasa lebih baik menjadi anjingnya herodes daripada anaknya herodes. Herodes sebenarnya menurut aturan Yahudi yang menjadi raja adalah suku Yehuda, sementara Herodes adalah orang idumea, ia adalah kaki tangan Romawi (Barat), tetapi datanglah orang Majus dari Timur, maka mungkin belum tentu Timur mendukung dia. Maka Herodes membasmi semua anak dibawah 2 tahun. Pada saat kebenaran masuk ke dunia yang jahat maka kematian tidak terhindarkan. Natanael berkata: apakah ada yang baik yang keluar dari Galilea? Orang Farisi juga merasa terusik oleh Rabbi dari Galilea, Yesus banyak menegur orang Farisi. Sehingga mereka mencari-cari kesalahan. Sampai akhirnya mereka sepakat “Salibkan Dia, salibkan Dia.” Kenapa? Yesus hanya ingin mengungkapkan kebenaran.


Intinya adalah bahwa banyak orang akan merasa terancam kedudukannya jika kehidupannya diperhadapkan kepada kebenaran. Banyak orang merasa tidak nyaman jika kebenaran harus menelanjangi kehidupannya. Pdt. Eka Darmaputera sering menuliskan, "Setiap orang ingin agar kebenaran ada di pihaknya, tetapi tidak setiap orang ingin berada di pihak kebenaran." Kenapa? berhadapan dengan kebenaran itu sulit, karena ketika berhadapan dengan kebenaran , maka diri kitalah yang kita matikan. Maka daripada diri sendiri dan keinginan sendiri dimatikan maka banyak orang lebih memilh mematikan kebenaran. Tetapi pada akhirnya, Kebenaranlah yang selalu menang di akhir pertandingan.


4. Fakta dari Bethlehem dan Golgota


Semua Orang Perlu Yesus untuk dipulihkan Kehidupannya


Bethlehem ada orang-orang Majus mewakili golongan ahli filsafat, imam, kedokteran, intinya ini adalah orang-orang di zaman sekarang adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan, talenta yang luar biasa, kaya, ilmuwan
Golgota: Kepala Pasukan: “Sungguh Dia ini orang benar” Ia sudah banyak melihat orang mati disalib. Biasanya 2 minggu orang baru meninggal, tapi Yesus hanya 6 jam. Biasanya kebanyakan orang yang disalib akan mengumpat, tetapi Yesus mengampuni dan mendoakan yang menyalibkan Dia. Di sini kepala pasukan melihat Yesus berkuasa atas nyawa-Nya sendiri, Yesus menyerahkan diri-Nya, nyawa-Nya kepada Bapa-Nya.


Bethlehem: Gembala-gembala adalah mewakili orang-orang yang diremehkan, yang tidak dipercaya di dalam pengadilan, orang yang miskin, dihina oleh orang-orang Yahudi, golongan marginal, Tuhan mencari mereka, dan memulihkan kepercayaan diri dan hidup mereka.
Golgota: Penjahat di samping Yesus. Penjahat itu berkata ”Bukankah Engkau adalah Kristus, selamatkanlah dirimu dan kami” kenapa hal ini dikatakan menghujat? Bukankah sebenarnya ini pertanyaan yang wajar? Penghujatan ini ditegaskan oleh perkataan temannya “apakah engkau tidak takut kepada Allah? Kita layak menerima penghukuman ini tetapi Ia tidak.” Jadi jelas bahwa penghujatan ini sebenarnya didasarkan bahwa penjahat ini memandang bahwa diri sendiri benar dan orang lain yang salah. Penghujatan menganggap diri sendiri salah dianggap benar dan orang yang benar dianggap salah.


Baik Bethlehem maupun Golgota sama-sama menegaskan bahwa Kerajaan Yesus bukan dari dunia ini, Yesus datang untuk mendirikan kerajaan-Nya yaitu Yesus datang untuk memerintah hati manusia. Yesus tidak pernah memaksa orang untuk percaya kepada-Nya, tetapi Yesus ingin agar manusia melihat dan percaya kepada-Nya dengan hatinya.
Napoleon, sang penakluk Eropa, pernah berkata dan merenung di dalam pengasingannya, dan Napoleon bertanya kepada Count Montholon ke sisinya dan bertanya kepadanya, bisakah engkau menceritakan kepadaku Yesus Kristus itu? Bangsawan menolak untuk menjawabnya, maka Napoleon berkata:


"Alexander, Caesar, Charlemagne, dan aku sendiri (Napoleon) telah mendirikan kerajaan-kerajaan yang hebat. Tetapi di atas dasar apakah karya kejeniusan kami ini berdiri? Di atas kekerasan. Hanya Yesus yang mendirikan kerajaan-Nya di atas kasih, dan sampai hari ini ada jutaan orang yang bersedia mati untuk-Nya ... Ia meminta hati manusia; Ia akan memilikinya sepenuhnya. Ia menuntutnya secara tidak bersyarat, dan seketika itu juga tuntutan-Nya dipenuhi. Ajaib! ... Ini dia yang paling memukulku; aku telah seringkali memikirkannya. Ini Dia yang membuktikan kepadaku Keilahian Yesus Kristus dengan sangat meyakinkan."


Ya Yesus Di Bethlehem sebagai seorang bayi lemah di Bethlehem adalah Yesus Yang sama yang Mati di Golgota untuk membangun suatu dunia yang baru di mana Yesus yang memerintah di hati Manusia, Yesus yang menjadikan segalanya baru

Sudahkah kita melihat kesinambungan ini?




Monday, January 14, 2008

DON’T JUDGE A BOOK FROM ITS COVER


DON’T JUDGE A BOOK FROM ITS COVER

(SENI MERAYAKAN HIDUP DALAM KEBERAGAMAN)


PENDAHULUAN


Dalam kampanye pemilihan presiden di Amerika Serikat kali ini, tampil satu tokoh yang fenomenal, yaitu Barrack Obama. Kenapa saya mengatakan fenomenal, sebab Obama ini bukanlah orang “pure” Amerika yang notabene “kulit putih” tetapi ia adalah warga negara Amerika yang keturunan Kenya, dan terlebih lagi ia adalah orang yang di masa kecilnya hidup yang dekat dengan kultur Asia, karena ia pernah tinggal dan bersekolah di Indonesia, bahkan lebih lagi ia bahkan pernah disebut-sebut pernah memeluk agama Islam. Padahal bukankah jika kita menilik bagaimana pandangan sebagian dunia Arab ataupun bagi negara-negara yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam, Amerika ini sering dilabeli sebagai negara “Kristen” yang anti Islam, bahkan belum pernah ada yang presidennya bukan berkulit putih. Melalui fenomena yang demikian ini Christianto Wibisono dalam Suara Pembaruan, menulis


Latar belakang sejarah ini sekarang mulai terkuak dan merupakan bagian dari ujian sejarah, apakah AS akan lulus sebagai negara demokrasi sejati yang tidak terhambat oleh faktor sentimen primordial seperti ras, etnis, keturunan, dan agama. Jika John Kennedy menghadapi masalah Katolik dan Mitt Romney agama Mormon, maka yang menimpa Obama adalah dua masalah sekaligus, etnis campuran imigran Kenya dan isu bahwa ia pemeluk Islam semasa hidup di Indonesia.


Sebuah tanggapan yang sangat bagus, bahwa inilah yang terjadi dalam demokrasi, ada keterbukaan, ada persamaan hak, ada persamaan derajat sebagai manusia. Hal ini berbeda dengan Indonesia, yang kata sebuah blog yang anti Indonesia mengatakan, “Kalau di Indonesia yang menjadi Presiden harus Islam, harus Jawa, kalau, yang bukan itu mana bisa?”


Mungkin bagi kita yang mendengar ini gerah juga rasanya, walaupun kalau dipikir-pikir ada juga sisi benarnya, namun sekali lagi kita jangan keburu-buru menghakimi dulu kalau negara ini pasti begitu. Tapi nggak usah nge-judge negara dululah. Kita kembali dulu kepada gereja, jangan-jangan gereja juga punya semangat yang seperti itu lho. Suatu contoh, suatu kali teman saya (yang sekarang sedang menjalani proses sebagai calon pendeta di suatu sebuah gereja) pernah cerita kepada saya, “Ron, salah satu gereja di kota itu sedang butuh hamba Tuhan, tetapi Majelisnya bilang harus yang sukunya A, soalnya kalau yang diluar A takutnya golongan dari suku A gak ada yang ke gereja. Tetapi kalau dari suku A yang jadi pendeta maka suku-suku yang lain akan masuk gereja.” Waduh saya berpikir kalau gereja yang sebagai wakil Allah di dunia ini saja seperti itu, bagaimana dengan negara dimana gereja itu ada ya? Pasti negaranya sama parahnya atau juga lebih parah daripada itu. Maka benarlah Ronald J. Sider menulis buku “The Scandal of The Evangelical Conscience” yang mengungkapkan bahwa orang Kristen di Amerika bahkan yang mengaku diri lahir baru adalah justru gereja-gereja yang mendukung rasialisme, menyedihkan bukan? Penelitian tersebut dilakukan di Amerika yang notabene adalah negara demokrasi yang menjamin kebebasan tiap individu, apalagi jika hal ini dilakukan di gereja-gereja Indonesia penulis menduga pasti hasilnya jauh lebih besar, apa sebab? Karena di Indonesia ini saja berapa banyak gereja yang didirikan karena adanya semangat kesukubangsaan? Banyak bukan? Justru hal inilah kalau tidak berhati-hati maka gereja justru menjadi ladang yang subur dalam memelihara rasialisme yang tentunya di benci oleh Tuhan. Oleh sebab itu melalui tulisan ini penulis ingin berbagi dengan warga GKI dalam menggumuli masalah ini.


MENILIK KEPADA FIRMAN TUHAN


Mari kita melihat Matius 1:1-17;

1 Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham.

2 Abraham memperanakkan Ishak, Ishak memperanakkan Yakub, Yakub memperanakkan Yehuda dan saudara-saudaranya,

3 Yehuda memperanakkan Peres dan Zerah dari Tamar, Peres memperanakkan Hezron, Hezron memperanakkan Ram,

4 Ram memperanakkan Aminadab, Aminadab memperanakkan Nahason, Nahason memperanakkan Salmon,

5 Salmon memperanakkan Boas dari Rahab, Boas memperanakkan Obed dari Rut, Obed memperanakkan Isai,

6 Isai memperanakkan raja Daud. Daud memperanakkan Salomo dari isteri Uria,

7 Salomo memperanakkan Rehabeam, Rehabeam memperanakkan Abia, Abia memperanakkan Asa,

8 Asa memperanakkan Yosafat, Yosafat memperanakkan Yoram, Yoram memperanakkan Uzia,

9 Uzia memperanakkan Yotam, Yotam memperanakkan Ahas, Ahas memperanakkan Hizkia,

10 Hizkia memperanakkan Manasye, Manasye memperanakkan Amon, Amon memperanakkan Yosia,

11 Yosia memperanakkan Yekhonya dan saudara-saudaranya pada waktu pembuangan ke Babel.

12 Sesudah pembuangan ke Babel, Yekhonya memperanakkan Sealtiel, Sealtiel memperanakkan Zerubabel,

13 Zerubabel memperanakkan Abihud, Abihud memperanakkan Elyakim, Elyakim memperanakkan Azor,

14 Azor memperanakkan Zadok, Zadok memperanakkan Akhim, Akhim memperanakkan Eliud,

15 Eliud memperanakkan Eleazar, Eleazar memperanakkan Matan, Matan memperanakkan Yakub,

16 Yakub memperanakkan Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus.

17 Jadi seluruhnya ada: empat belas keturunan dari Abraham sampai Daud, empat belas keturunan dari Daud sampai pembuangan ke Babel, dan empat belas keturunan dari pembuangan ke Babel sampai Kristus.


KONTEKS DAN PENJELASAN:


Menurut tradisi Injil Matius adalah Injil yang ditulis oleh Lewi seorang Yahudi untuk meyakinkan akan bukti kemesiasan Tuhan Yesus Kristus kepada orang-orang Yahudi. Bagi banyak orang, silsilah ini ingin menunjukkan kepada orang-orang Yahudi bahwa Yesus secara keturunan adalah “trah” Yahudi. Kenapa hal ini penting bagi orang Yahudi? Karena orang Yahudi adalah bangsa yang sangat menjunjung tinggi keyahudiannya, karena mereka merasa sebagai bangsa pilihan. William Barclay menulis bahwa orang-orang Yahudi dalam doanya mereka bersyukur karena mereka adalah orang Yahudi bukan bangsa Kafir. Maka tidak heran jika bangsa Yahudi tidak mau mengakui Herodes sebagai pemimpin mereka karena Herodes (Pasal 2) bukanlah bangsa Yahudi Asli tetapi adalah bangsa Idumea (Edom saudara Israel).


Pandangan yang demikian ada benarnya juga, tetapi penulis lebih memilih bahwa silsilah itu dimaksudkan justru sebagai suatu penggenapan nubuat kemesiasan Tuhan Yesus Kristus seperti yang tertulis di dalam Kitab Suci orang Yahudi. Sebab bagi orang Yahudi, Kitab Suci, yaitu Kitab Torah dan Para Nabi adalah hal yang sangat penting bagi mereka, dan kemesiasan menjadi sah dan valid jika di dalam Kitab Suci mereka telah tertulis terlebih dahulu. Kenapa penulis berkata demikian? Hal ini dikarenakan ada di antara silsilah-silsilah itu yang justru “memperlemah” keyahudian Yesus Kristus, dikarenakan adanya orang-orang yang justru di luar Yahudi, bahkan ada juga berlatar belakang kurang baik. Keempat orang itu adalah Tamar (3), Rahab dan Rut (5) dan Istri Uria [Betseba] (6). Sampai tahap ini penulis berpendapat bahwa Firman Tuhan ingin menunjukkan kepada kita bahwa ketika hidupnya di dalam dunia ini di dalam tubuh Yesus sudah mengalir darah suku-suku bangsa, dan Yesus adalah universal. Betul Yesus adalah Yahudi. Tetapi meskipun Yesus yang penulis akui sebagai Tuhan adalah orang Yahudi, bukankah bangsa Yahudi merasa bahwa ia adalah bangsa pilihan yang merasa superioritas, tetapi Yesus yang adalah Tuhan menggoncang dasar kesuperioritasan Yahudi dengan dialirkan darah suku-suku bangsa di dalam tubuhnya yang mulia, sungguh indah dan luar biasa.


Dalam Injil matius pasal yang pertama ini saja Yesus sudah mengguncangkan kita bahwa sebenarnya Yesus telah menebus dan mendudukkan suku-suku bangsa di dalam satu tubuh yang paling mulia yaitu tubuh Kristus sendiri, seluruh suku-suku bangsa telah diperdamaikan untuk hidup bersama di dalam tubuh yang Mulia yaitu Yesus Kristus sendiri. Bukankah sekarang tubuh Kristus di masa sekarang itu adalah gereja itu sendiri, yang sudah diperdamaikan oleh darah Kristus untuk bisa duduk diam, hidup bersama-sama, hidup berdampingan satu sama lain dalam kadar, derajat yang sama sebagai manusia yang sudah sama-sama ditebus seperti Firman Tuhan, “Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya” (Roma 10:12).


Memang membicarakan masalah ini secara teoritis sangatlah mudah namun di dalam kenyataannya, banyak sekali rintangan-rintangan dan hambatan-hambatan yang ada untuk kita bisa duduk dalam derajat dan harkat yang sama? Maka di bawah ini penulis mencoba untuk memikirkan rintangan-rintangan dan hambatan-hambatan untuk kita bisa melaksanakan Firman Tuhan ini?


HAMBATAN-HAMBATAN


KESUPERIORITASAN SUKU BANGSA


Kita tidak bisa menutup mata bahwa setiap bangsa akan mengklaim kesuperioritasannya. Mau tidak mau, suka tidak suka kita mengakui ini, kita dilahirkan ke dalam dunia ini dengan membawa “gen superior” menganggap bangsa sendiri sebagai bangsa yang lebih unggul dari bangsa yang lain. Bukankah sejarah telah membuktikan bahwa “pembersihan” etnis kerap terjadi di dalam dunia ini karena merasa bahwa bangsa sendiri lebih unggul? Hitler bersama bangsa Arya Jermannya merasa superior dan mengakibatkan pembersihan “holocoust” etnis Yahudi, Ku Klux Klan berkulit putih yang ingin menghabisi warga Afro-American yang hitam, politik “Apartheid” di Afrika yang berusaha menyingkirkan hak-hak suku Aborigin, yang ironisnya peristiwa-peristiwa tersebut justru memperoleh “dukungan mesra” dari gereja pada masa itu. Ya, gereja mempunyai sejarah yang kelam dengan masalah rasialisme ini yang berpangkal pada kesuperioritasan sebuah bangsa sehingga ingin menghancurkan bangsa yang lain dan memandang bangsa yang lain lebih rendah.


Di dalam Firman Tuhan pernah ada yang menggumulkan masalah ini, Ahli Taurat sebagai orang yang taat beragama bertanya tentang hidup kekal, dan bertanya “Siapakah sesamaku manusia?” (Lukas 10:29), dengan demikian pertanyaan ini menyiratkan bahwa orang lain tidak otomatis sama. Dalam menjawab pertanyaan ini Tuhan Yesus menggunakan suatu cerita:


30 Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. 31 Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. 32 Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. 33 Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. 34 Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. 35 Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.


Ini adalah cerita yang sudah kita kenal bukan? Ada seorang yang dirampok, tetapi disitu berturut-turut ada seorang Imam dan Lewi yang lewat, tetapi mereka tidak melakukan apa-apa, mereka menghindar. Sebagai manusia mungkin mereka bersimpati tetapi tidak punya aksi karena jangan-jangan mereka malahan ikut-ikutan dirampok. Sedangkan orang Samaria bukan hanya simpati, dan bukan Cuma advis, tetapi punya aksi yang konkret. Perumpamaan ini menyentak, sebab orang Yahudi dan orang Samaria telah lama bermusuhan dan tidak saling sapa, karena menganggap diri mereka lebih baik. Apa yang membuat orang Samaria ini memiliki aksi yang demikian mulia, karena ia memiliki hati yang berbelas kasih yang menembus batas-batas etnis dan agama.


Sampai di sini Yesus tidak meneruskan ceritanya, malah Yesus balik bertanya, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!"


Mengapa Yesus tidak menjawab pertanyaan ahli Taurat “Siapakah Sesamaku Manusia?” Bagi Yonky Karman, pertanyaan itu adalah keliru, sebab berarti ada orang yang termasuk kelompokku tetapi ada juga orang yang bukan termasuk kelompokku. Atau lebih jahat adalah ada orang yang masuk kelompokku adalah manusia tetapi ada orang yang memang manusia tetapi bagiku bukan manusia. Sehingga pertanyaan yang demikian menempatkan si penanya sebagai pemberi kriteria siapa saja yang menjadi sesamanya dan yang bukan sesamanya, karena tidak semua orang adalah sesamanya.


Oleh sebab itu Tuhan Yesus mengubah pertanyaannya, menghancurkan dasar dan logika berpikir orang Yahudi yang merasa superioritas itu dengan pertanyaan siapakah yang menjadi sesama bagi orang yang malang itu? Kriteria sesama tidak lagi ditentukan oleh si penanya tetapi orang yang membutuhkan pertolongan yang membutuhkan pertolongan dari siapa saja, sederhananya pertanyaannya menjadi sudahkah aku menjadi sesama bagi orang lain?


PELABELAN SUATU SUKU BANGSA


Hal selanjutnya yang merintangi kita untuk bisa menerima suku-suku yang lain adalah kita terlanjur dicemari dengan “stereotip–stereotip” tertentu. Misalnya orang Jawa hanya bisa menjadi pembantu Rumah Tangga, Gadis-gadis Manado adalah gadis-gadis yang berat diongkos, Kalau kita bertemu kernet bus kota pasti orang Batak, dll. Hal-hal tersebut adalah pikiran-pikiran yang telah teracuni. Kita lupa bagaimanapun suatu bangsa mempunyai tradisi dan ciri khasnya masing-masing, tetapi pribadi orang tetap berlain-lainan. Namun masalahnya kita sudah cenderung dengan gampang memberi “label” kepada mereka.


Dalam Injil Yohanes 1:46 diceritakan Natanael pernah mempertanyakan atau lebih tepat dibilang dengan memperolok Yesus dengan berkata: "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?" Pertanyaan Natanael tentang Yesus yang berasal dari Nazaret ini bukanlah tanpa alasan. Menurut R.T. France, Nazaret bukanlah kota penting, hanya kota kecil yang tidak lebih dari desa yang tidak terkenal, tanpa arti dalam sejarah, namun terlebih lagi adalah kota itu setengah kafir, jadi jelas bagi seorang Yahudi sejati pergaulan dengan sesuatu yang kafir kalau bisa dihindari. Jadi Natanael sudah memasang “cap” kepada Yesus. Cap atau label yang diberikan kepada Yesus bukanlah cap yang baik tetapi adalah cap yang “mengeneralisasi yang sebenarnya tidak general.” Natanael tidak mengenal Yesus, Natanael belum bertemu dengan Yesus, belum menyelidiki tetapi langsung menyimpulkan, dan kesimpulannya adalah kesimpulan yang salah.


Tetapi Yesus menjawab Natanael yang datang kepada-Nya, lalu berkata tentang dia: "Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!(Yoh 1:47)" Label buruk yang dialamatkan Natanael kepada Yesus, tidak ditanggapi sebagai gantinya Yesus justru memuji Natanael sebagai orang Israel sejati yang tidak ada kepalsuan di dalam diri Natanael. Yesus mengatakan ini bukan tanpa maksud, dan bukan hanya sekedar melempar bola balik, tetapi Yesus mengatakan ini dengan analisa yang cermat nggak “asbun alias asal bunyi” karena di ayat 48, Natanael bertanya, "Bagaimana Engkau mengenal aku?" Jawab Yesus, "Sebelum Filipus mengatakan mengenai Aku kepadamu, Aku telah melihat engkau di bawah pohon ara." Yesus Melihat, mengamati, menyelidiki bagaimanakah sifat Natanael. Yesus memberikan pandangannya kepada Natanael secara personal, dan bukan “gebyah uyah.” Frase “inilah seorang” adalah menunjukkan suatu kepersonalitasan Natanael secara utuh dan lengkap dan bukan yang lain, hanya Natanael. Selain itu Yesus mengamati dengan cermat pula, sebab frase “di bawah pohon ara," adalah menunjukkan suatu kegiatan yang bukan sembarangan, tetapi mengacu kepada tindakan berdoa, mempelajari kitab-kitab, dan beribadah. Dan Yesus mengetahui ini dengan suatu proses analisa dan bukan hanya sekedar kata orang dan sentimen pribadi. Inilah yang sebenarnya mesti kita ingat seperti sikap Yesus ketika kita ingin menilai seseorang, yaitu kenali secara pribadi.


ADANYA LUKA BATIN DALAM SEJARAH


Setiap kehidupan manusia memiliki sejarah karena manusia hidup dalam ruang dan waktu. Karena manusia hidup dalam ruang dan waktu maka akan ada berbagai macam peristiwa di dalam kehidupannya. Masalahnya tidak semua sejarah itu baik, sejarah yang baik akan kita kenang sebagai kenangan yang memberi semangat. Tetapi sejarah kita juga kadang-kadang diwarnai dengan kesedihan. Kesedihan inilah bisa mengakibatkan luka batin dalam sejarah kita. Luka-luka itu bermacam-macam, adanya perlakuan yang tidak adil karena menjadi satu suku bangsa tertentu, hak-hak kita merasa diinjak-injak karena kita sebagai satu suku bangsa tertentu, kita tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai karena kita sebagai satu bangsa tertentu. Dalam segala abad permasalahan-permasalahan seperti ini akan terus muncul, masalahnya bagaimanakah kita menyikapinya.


Dalam Kitab Suci disebutkan adanya kisah Yesus yang menemui seorang perempuan Samaria, kisah ini sangat kompleks. Pertentangan antara Yahudi dan Samaria, Pertentangan tempat menyembah, dan juga masalah “pribadi” wanita ini yang bersuamikan banyak orang, yang tentunya juga dikucilkan. Tetapi Yesus ingin membebat “luka-luka sejarah” di dalam hidup wanita Samaria ini, Yesus mendatangi dengan sikap yang bersahabat sehingga luka sejarah itu dapat segera dibereskan. Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: "Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?" (Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria) [Yohanes 4:9]. Sebagai suku bangsa, orang Samaria dan orang Yahudi punya sejarah yang kelam, mereka tidak bergaul, tidak bertegur sapa, saling menjatuhkan. Tetapi sekarang Yesus datang untuk menawarkan kesembuhan batin atas luka sejarah yang pernah dialami. Mereka yang tidak pernah berelasi, kini berelasi, mereka yang tidak pernah bertegur sapa kini bertegur sapa.


Pada bagian ini lebih unik lagi karena peristiwa pertemuan Yesus dengan perempuan Samaria ini adalah pertemuan di sumur, di mana para gadis atau wanita sedang menimba air. Di dalam perjanjian lama, peristiwa menimba air dan pertemuan di sumur adalah pertemuan dalam menemukan pasangan hidup. Contohnya ketika, Ishak dicarikan jodoh, diawali dengan peristiwa di sumur dan menimba air. Sehingga jika dikaitkan secara teologis, Yesus yang adalah Tuhan sedang mencari mempelai perempuan bagi-Nya. Dan gereja adalah mempelai perempuan yang sudah ditemukan oleh Tuhan Yesus Kristus. Mempelai perempuan yang sudah terbuang, tidak layak, tidak berharga, berdosa, kini dipulihkan kembali. Yesus menebus gereja-Nya, Yesus menebus suku-suku bangsa, karena Yesus mengasihinya.


Sehingga jelas di dalam Yesus luka-luka batin sejarah kita seharusnya sudah ditaklukkan oleh Kristus. G. K. Chesterton pernah berkata “Apakah yang salah dengan dunia ini?” dan dengan tegas ia menjawab “Sayalah masalahnya.” Kita mungkin di dalam pergumulan luka batin sejarah bangsa kita bertanya, tanya dalam hati tentang ketidakadilan, ketidaksempurnaan. Seperti Chesterton harusnya kita berani berkata “Sayalah masalahnya” karena apapun itu yang menimpa kita, seringkali ada juga andil kita di dalamnya, entah kadarnya banyak entah itu sedikit. Kenapa bisa demikian? Seperti yang penulis yakini, kita adalah manusia yang berdosa. Bukankah akibat dosa yang pertama adalah manusia membunuh manusia lainnya?(peristiwa kain dan habil). Dan itu akan terus ada sepanjang kita tidak menyadari ada anugerah yang lebih besar untuk memampukan kita untuk tidak mengulanginya. Tetapi puji Tuhan, Yesus Kristus menang atas maut untuk menebus manusia, untuk menebus peradaban, menebus tradisi, untuk ditundukkan dibawah hukum Allah, yaitu hukum kasih dan anugerah-Nya.


SOLUSI


Pergumulan tentang perbedaan itu akan selalu ada di sepanjang abad, tetapi hendaknya gereja Tuhan menjadi teladan di garis depan untuk mewujudkan adanya satu bentuk persatuan, persamaan hak, derajat, martabat dari setiap manusia. Sebab jika gereja, sebagai wakil Allah, dan juga sebagai tempat pelatihan Kerajaan Allah di dunia ini gagal untuk memberikan teladan dan sumbangsih ini, kepada siapa lagi dunia akan mencari teladan. Firman Tuhan "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang (Matius 5:13).” Gereja Tuhan di negara Indonesia harus menangkap visi ini. Sebab kata Indonesia menunjukkan suatu kemajemukan budaya, suku bangsa, yang begitu beragam.


Pada saat saya masih berkuliah di Malang, saya mengikuti kebaktian di salah satu geraja Malang. Pada saat itu yang berkhotbah adalah seorang dosen di salah satu sekolah teologi injili di Malang. Dalam khotbahnya beliau menyampaikan bahwa Gereja masa depan Indonesia adalah gereja yang Multi-Etnis, hal ini dikarenakan karena latar belakang bangsa yang beragam dan plural. Gereja di Indonesia yang baik bukan lagi gereja yang mengedepankan kesukuannya, tetapi adalah gereja yang dapat menampung berbagai macam suku bangsa dapat hadir beribadah, dan menikmati ibadah. Karena demikianlah nanti suasana surga, seluruh bangsa akan bersatu berkumpul dan menyembah Yesus Kristus sang Kepala Gereja. Pada saat Hamba Tuhan tersebut berkhotbah, iseng-iseng saya melepaskan pandangan ke seluruh ruangan gereja itu. Karena saya laki-laki normal maka yang saya lihat adalah gadis-gadis yang hadir kebaktian. Saya takjub, gadis-gadis dari berbagai macam suku bangsa, baik dari yang berkulit putih sampai hitam, dari yang berambut keriting sampai yang lurus, dari yang matanya sipit sampai yang bulat, dan menurut pandanganku saat itu semuanya cantik-cantik, dalam hati saya berteriak Puji Tuhan, Allah sungguh Ajaib.


Oleh sebab itu mungkin ada beberapa hal yang harus gereja Tuhan lakukan supaya kita menjadi gereja yang memang Multi-Etnis:


MENJADI SESAMA


Sikap merendahkan diri dan memjadi sesama sangat diperlukan, yang masing-masing tidak merasa bahwa dirinya adalah paling baik. Seperti yang saya ingat, Pdt. Eka Darmaputera pernah menulis bahwa ketika seseorang dilahirkan ke dalam dunia ia tidak bisa memilih, itu adalah sesuatu yang “given” atau dari sononya tentunya sesuai dengan hikmat-Nya, karena sudah dari sononya kita adalah sama-sama ciptaan, memandang rendah ciptaan dan hikmat-Nya dalam menciptakan manusia, berarti memandang rendah Allah Sang Pencipta. Sehingga yang perlu diingat adalah kita ini sama-sama manusia, mensyukuri apa yang Tuhan sudah tetapkan. Maka itu kenalilah sesama kita secara personal, dan bersahabat dengan siapa saja.


REKONSILIASI


Sikap ini diperlukan, bagi kita yang pernah terluka oleh perlakuan ketidakadilan karena kita sebagai satu suku bangsa. Henry Nouwen pernah menulis, bahwa yang terlukalah yang mesti menyembuhkan. Bagi saya hal ini adalah Alkitabiah, karena sesuai dengan apa yang Allah perbuat. Karena manusia yang berdosa maka Allahlah yang menyelesaikannnya dengan mengirimkan Yesus ke dunia.


Satu kali saya berkata kepada Boksu yang orang Tiong-Hoa, “Saya benci orang Tiong-Hoa!!!” hal ini karena saya merasa dilecehkan di gereja hanya sebagai “bolo dupak” (Teman yang ditendang) artinya kalo ada pekerjaan yang menyangkut kerja bakti saya diundang untuk membantu segala perlengkapan angkat junjung, pada saat itulah saya diperlakukan sebagai “teman”. Tapi, giliran ada kegiatan yang lebih asyik, ada pesta sedikit, kumpul-kumpul, makan-makan, gak pernah diinget bahkan kenalpun tidak, saya sakit…kit…kit. Boksu diam, lalu beliau berkata, “Ron, saya juga benci orang Jawa, bayangkan Ron sejak saya kecil sampai SMA saya selalu menjadi bulan-bulanan orang Jawa.” Mereka berkata, “Hai ada Cina gendut, ayo kita serang!!!!!” Sehingga hal ini membuat dia trauma dan benci dengan orang Jawa. Saya sadar, saya terluka dengan orang Tiong-Hoa. Demikian juga Boksu pernah terluka dengan orang Jawa. Lalu Boksu berkata, “Ron, maafkan bangsaku telah membuatmu terluka.” Sayapun berkata, “Boksu, maafkan bangsaku yang telah membuat Boksu terluka.” Kami menangis, kami berjabat tangan dan berdoa, ada kedamaian yang indah, beban bertahun-tahun itupun lepas. Apalagi sekarang, he.. he setelah bertahun rekonsiliasi tersebut, sekarang aku justru mendapatkan calon istri orang Tiong-Hoa, orang tuanya sudah setuju lagi, Puji Tuhan.


MENGUTAMAKAN FIRMAN TUHAN


Banyak umat Tuhan mengerti Alkitab, tetapi persoalan mau tunduk dan tidak adalah soal yang lain. Bagi Tuhan Yesus, silsilah di dalam diri-Nya ingin menunjukkan selain suku bangsa juga ada berbagai macam tradisi yang mengalir di dalam diri-Nya sebagai orang “Yahudi.” Tetapi yang membedakan adalah, Yesus tahu bahwa baik diri-Nya, hidup-Nya, tradisi yang mengalir di dalam darah-Nya, suku bangsa yang mengalir di dalam darah-Nya ditundukkan kepada Bapa yang disembah-Nya. Sehingga jelas di sini, siapa mengontrol siapa. Yang absolute mengontrol yang relatif. Masalahnya siapa yang absolute bagi kita?