Sunday, March 23, 2008

Gereja dan Permasalahan Alat Musik Dalam Ibadah?




Gereja dan Permasalahan Alat Musik Dalam Ibadah?*


Pendahuluan


Akhir-akhir ini, diskusi tentang penggunaan band dalam ibadah sudah semakin menghangat, dan gereja GKI sedang berespon dan sedang menggeliat dalam pergumulan ini. Banyak anak-anak muda GKI yang mulai ikut-ikutan model kebaktian yang ”lain,” karena dalam ibadah itu mereka menggunakan peralatan musik yang lebih lengkap dan lebih spontan. Oleh sebab itu, penulis ingin mencoba mengupas permasalahan gereja dan permasalahan alat musik dalam ibadah ini. Tulisan ini sekedar sebagai sharing karena penulis merasa sebagai orang GKI, jadi rekan-rekan tidak harus setuju dengan penulis, tetapi semoga tulisan ini menjadi wacana yang bisa memberkati rekan-rekan semua.


Arti Kata Ibadah


Arti kata ibadah di dalam Alkitab sangat luas, tetapi konsep asli kata ibadat dalam PL dan PB artinya “pelayanan.” Kata Ibrani avoda dan Yunani latreia pada mulanya menyatakan pekerjaan budak atau hamba. Para hamba/budak ini sangat menghargai raja ataupun tuan yang mereka layani. Mereka melaksanakan pekerjaan pelayanan mereka dengan sungguh-sungguh, dan dengan perasaan kagum tetapi bukan hanya itu mereka berbahagia atas kepercayaan yang ditugaskan kepada mereka dengan penuh kagum dan hormat. Tetapi pada intinya, bagi seorang hamba/budak tugas utama mereka adalah melakukan segala sesuatu untuk tuan mereka. Apa yang dipikirkan hamba/budak adalah apa sih yang membuat tuan mereka senang? Apa sih yang diinginkan tuan mereka? Fokus ibadah adalah tuan kita, permasalahannya siapa sih yang menjadi tuan kita? Tuhan, ego kita, kesenangan kita, kenyamanan kita, atau bahkan bisa terjadi tradisi kita? Biarkan ini menjadi pergumulan kita, sebenarnya di manakah kita berpijak.


Jangan Kehilangan Fokus


Kita harus selalu berpegang pada prinsip bahwa tujuan ibadah adalah untuk menyenangkan hati Tuhan. Hal ini penting, karena seringkali manusia lupa untuk apa sebenarnya manusia beribadah kepada Tuhan, karena bagi saya kita bisa terjebak dan nyaman pada hal yang pertama, yaitu sebenarnya menyukakan diri sendiri yang akhirnya kehilangan fokus kepada tujuan ibadah itu sendiri. Sehingga, pertanyaan apakah boleh menggunakan band untuk ibadah justru bukanlah pertanyaan utamanya. Bahkan bagi gereja kita, yang sudah lama menggunakan organ/piano pertanyaan utamanya bukanlah mengapa kita harus menggunakan organ/piano? Sebab, baik organ, piano ataupun alat-alat musik yang lain, hanyalah sebagai alat untuk mengiringi ibadah kita supaya menjadi lebih baik dan lebih indah. Ingatlah alat-alat itu bukanlah tujuan utamanya, alat adalah sarana yang harus kita mainkan dengan maksimal.


Gereja yang menjadikan alat sebagai tujuan akan sangat mengagung-agungkan alat di dalam ibadah. Akibatnya, gereja yang demikian akan cenderung tertutup untuk menerima kemungkinan-kemungkinan yang lain dalam ibadah mereka dan cenderung statis. Akibatnya gereja menjadi mandeg dan stagnan. Tetapi bisa jadi menjadi ekstrem yang lain, karena begitu mengagung-agungkan alat, dalam hal ini alat musiknya, maka gereja hanya memfokuskan diri bagaimana supaya musiknya bagus, mereka mati-matian untuk menggembleng para pemusiknya, ditambah lagi mereka terus memfokuskan diri kepada “hunting” alat-alat terbaru, tapi masalah kerohanian para pemusiknya? belum tahu. Nah, baru-baru diadakan suatu pertemuan bagi para hamba Tuhan pembina komisi remaja & pemuda, dan anehnya banyak hamba Tuhan yang merasa bahwa yang banyak bermasalah dan terus tenggelam dalam keberdosaan adalah mereka yang melayani dalam bidang musik. Hal ini, kemungkinannya karena pembinaan yang menekankan tentang perubahan diri yang menjadi tujuan dari ibadah cenderung diabaikan.


Ibadah Adalah Pertemuan Tuhan dengan Umat-Nya dalam Konteks


Allah ingin ada pertemuan dengan umat-Nya pada saat ibadah. Jadi, ibadah juga menuntut peran serta umat untuk mengambil bagian di dalam ibadah. Ibadah adalah Inisiatif Allah yang dikerjakan oleh manusia. Artinya ibadah itu sendiri adalah perintah Tuhan kepada manusia, tetapi yang pengerjaannya dilakukan oleh manusia. Karena ibadah merupakan kegiatan sinergi antara Allah dan manusia maka jelas, bahwa ibadah bersifat ilahi dan manusiawi. Ilahi artinya ibadah harus selalu berlandaskan akan sifat-sifat Allah sendiri, yaitu Allah yang kudus, Allah yang suci, Allah yang maha tinggi, Allah Yang maha Kuasa yang harus kita sembah dengan hormat. tetapi di sisi lain ibadah juga bersifat manusiawi, yaitu ibadah adalah respon manusia kepada pencipta-Nya. Bagi kita sebagai orang Kristen, ibadah juga merupakan respon ungkapan syukur atas penyelamatan yang Tuhan sudah kerjakan di dalam kehidupan kita.


Jadi, karena ibadah merupakan respon ungkapan syukur dan kekaguman manusia terhadap kebaikan Tuhan, tentunya dalam hal melakukan cara-cara beribadah manusia dipengaruhi oleh konteks di mana manusia itu berada, manusia dipengaruhi oleh zaman seperti apa manusia itu hidup. Kenapa saya bisa berkata demikian, karena jelas dalam hal yang kita bicarakan, yaitu alat penggunaan alat musik ibadah di dalam gereja sendiri juga mengalami perkembangan sesuai dengan konteks zaman. Saya kadang menjadi heran, mengapa ada gereja di masa modern ini mempermasahkan tidak boleh menggunakan band, harus organ ataupun piano, tetapi tidak melihat bahwa zaman dahulu gereja awal-awal tidak ada organ ataupun piano, yang ada hanyalah alat-alat musik yang sederhana, toh mereka memuji Tuhan.


Masalahnya, Alkitab sendiri tidaklah meggambarkan dengan jelas alat-alat musik apa yang boleh dan tidak boleh digunakan di dalam ibadah. Tetapi yang jelas musik adalah menjadi bagian yang sangat penting bagi kebudayaan Ibrani, antara lain kecapi & suling (Kej. 4:21), rebana (Kej. 31: 27), gambus (2Taw. 20:28). Namun secara sederhana alat musik di dalam Alkitab dapat digolongkan menjadi 3 macam yaitu pertama alat bertali; yang meliputi kecapi, kinnor, gambus, rebab, serdam. Kedua, alat –alat tiup yang meliputi seruling, sangkakala, kelentung. Ketiga, alat-alat yang dipukul diantaranya; giring-giring, ceracap, rebana. Semuanya itu adalah alat musik yang dipakai oleh kaum Ibrani. Bagi penulis, hal ini menarik sampai Alkitab sendiri tidak menuliskan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh di dalam bait Allah. Sebab, alat musik pada dasarnya adalah netral, ia tidak kudus, tetapi juga tidak dosa, tetapi nilai kudus dan tidaknya alat musik bergantung terhadap dipakai untuk apa dan siapa yang memakainya. Jadi, bukan masalah alat musiknya tetapi kembali lagi ke titik awal, dipakai untuk tujuan apa dan siapa yang memakainya. Seperti pisau, bagi seorang koki ia akan menjadikan pisau itu alat untuk dapat menyajikan masakan yang enak dan menarik, tetapi bagi seorang pembunuh pisau bisa digunakan untuk kejahatan.


Jika musik adalah hasil karya cipta manusia, itu berarti musik ataupun alat musik itu akan terus berkembang. hal ini dikarenakan Tuhan itu kreatif, dan Tuhan terus mencipta dan terus berkreasi bersama dengan manusia. Penulis yakin Tuhan tidak berhenti berkarya, Tuhan tidak mandeg. Di setiap zaman, Tuhan membangkitkan orang-orang dengan talenta-talenta yang unik, salah satunya musik. Musik terus berkembang, karena musik berkembang maka alat musik juga berkembang. Hal ini adalah wajar dan bukan sesuatu yang aneh. Menjadi aneh justru jika tidak ada perkembangan. Apa yang dulu belum ditemukan oleh manusia sekarang sudah ditemukan. Kenapa bisa demikian? jawabannya karena Tuhan masih terus menciptakan manusia. Allah adalah Allah yang mencipta, bukankah manusia sebagai gambar Allah juga mempunyai ”gen’ sebagai manusia yang ”mencipta” juga? Saya pikir, jika kita bersikap tertutup akan hal ini, jangan-jangan kita sudah mulai berpikir bahwa Tuhan sudah berhenti mencipta, tidak bukan? Jika sekarang ini banyak terdapat banyak ragam ”ciptaan” manusia sebaiknya kita tidak menghindarinya.


Baik musik dan alat musik adalah hasil olah cipta manusia, dan saya sangat menyetujuinya. Maka oleh sebab itulah saya berani mengatakan bahwa akhirnya apa yang dikerjakan oleh manusia biasanya dipengaruhi oleh budaya yang ada di sekitarnya.
Sebagai contoh, adalah warna musik-musik yang kita gunakan di gereja GKI yaitu NKB & KJ bahkan sekarang sudah ada PKJ. Menurut hemat penulis, itu adalah pergumulan para penggubah lagu sesuai dengan konteks zaman di mana mereka hidup, jika kita teliti satu persatu maka akan tampak perbedaan warna lagu dari setiap zaman. Sebagai contoh kenapa lagu-lagu ciptaan Martin Luther sepertinya bernuansa perang? Ya karena pada saat menciptakan sedang dalam konteks reformasi ”perang” terhadap pengajaran yang menyimpang. Kenapa sih kita pakai organ dan piano? Ya karena gereja GKI pada awalnya didirikan dengan pengaruh gereja-gereja Belanda yang memang menggunakan piano ataupun organ dalam ibadah mereka pada masa itu. Pada dasarnya, kita ini hanya meneruskan tradisi, tradisi siapa? tradisi gereja Belanda, dengan konsep demikian ini jangan heran kalau kita sebagai orang Kristen dianggap mengikuti agama penjajah, soalnya ibadah kita sendiri juga ke-belanda-belanda-an, kita harus mengakui hal ini.


Menurut penulis, jika gereja kita masih menggunakan lagu-lagu dan alat musik yang semacam ini dan dengan warna liturgi yang seperti itu, bukanlah masalah Alkitabiah, tetapi lebih kepada masalah sejarah. Sehingga seperti pepatah ”jasmerah” jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, terpatri kuat dalam lingkungan gereja kita. Kenapa hal ini bisa terjadi? Ya, karena tidak semua yang berbau sejarah itu negatif. Sejarah ada yang positif juga, nah yang positif itulah yang ingin terus dipertahankan. Apakah mempertahankan sesuatu yang positif itu jelek? Tidak, mempertahankan yang positif itu justru sangat baik, yang menjadi tidak baik adalah jika karena kita sudah menganggap itu baik, maka kita sudah menganggapnya sebagai hasil final, kita mandeg dan berhenti berkarya. Padahal sejarah dan konteks itu pasti berubah, dan kita sebagai umat Tuhan dituntut untuk menggumulkan konteks zaman. Tuhan Yesus yang adalah Allah datang kepada manusia dengan menjadi manusia (karena Yesus ingin berjalan dalam konteks manusia itu hidup).


Konteks Masa Sekarang


Nah, sekarang permasalahannya, dalam konteks seperti apa jemaat Tuhan itu hidup? Jika zaman dahulu menggunakan organ/piano, karena pada masa masa tersebut memang alat musik yang digunakan adalah itu. Tetapi sekarang zaman berubah, pengaruh media sudah semakin luar biasa dan luas, jemaat Tuhan sudah mulai melihat banyaknya pilihan di dalam hidup, termasuk dalam hal musik. Kalau dulu kita mungkin aman-aman saja dengan hanya menggunakan piano/organ saja. Tapi sekarang, dengan media yang ada, para remaja kita sudah bisa menyaksikan bentuk ibadah yang ”lain” dari gerejanya, dan mereka bertanya-tanya? kok di gereja itu bisa begitu ya ibadahnya? Kadang-kadang kalo mau jujur lebih sesuai dengan jiwa mereka yang enerjik, aktif, spontan, kreatif, dinamis, serta membuat mereka dapat menggunakan emosi mereka.


Orang berkata, zaman kita hidup sekarang adalah zaman posmodern, zaman ini adalah counter terhadap zaman modern yang lebih bersifat rasionalis dan logis, yang menghilangkan aspek pengalaman dan emosi. Zaman Posmodern ini juga adalah zaman yang ingin menyangkali otoritas, dan menekankan relativisme. Memang bagi penulis tidak sepenuhnya setuju dengan semangat zaman yang demikian ini, tetapi ada sisi-sisi positif yang bisa menjadi catatan buat kita. Pertama, zaman posmodern sangat menghargai komunitas, komunitas juga mempunyai peran untuk mengambil langkah, nah artinya jika kita terjemahkan ke dalam situasi jemaat kita sebagai komunitas maka kita harus melihat mereka ini adalah orang-orang di dalam budaya yang seperti apa? kedua, emosi manusia dihargai, ini adalah bagian yang penting yang mungkin hilang karena pengaruh modernisme, kita seringkali mengatakan ibadah jangan mengumbar emosi, padahal kenyataannya memang kemungkinannya kita sudah kehilangan emosi kita karena kita pendam jauh-jauh, padahal kenyataannya Tuhanlah yang menciptakan emosi agar kehidupan kita sebagai manusia menjadi lebih utuh, dan menjadi lebih manusiawi, dan Tuhan lebih senang kita jujur dengan emosi kita. Ketiga, mempertanyakan kembali otoritas ataupun ke-absolutan. Bukan berarti penulis tidak setuju dengan otoritas ataupun sesuatu yang absolut, tetapi melalui semangat posmodern ini seharusnya kita semakin disadarkan untuk melihat dengan jelas memandang yang relatif sebagai yang relatif, jangan yang relatif diabsolutkan. Menurut hemat penulis, masalah penggunaan alat musik adalah masalah relatif, artinya alat musik bukanlah segala-galanya, alat musik bukanlah Tuhan, alat musik bukanlah yang kita sembah, alat musik bukanlah yang menjadi standard kita. tetapi yang menjadi standard dalam ibadah adalah Allah sendiri sebagai yang Absolute yang harus menerima segala hormat dan pujian kita.


Penulis teringat dengan salah satu kisah yang ditulis oleh Phillip Yancey, ia adalah seorang injili konservatif, sangat menyukai musik klasik, pandai bermain piano klasik, dan sangat menyukai hymnal, dan dibesarkan dalam model gereja yang tradisional seperti gereja kita. Ia memiliki kakak yang kuliah dalam bidang musik, kakaknya adalah pecinta musik klasik, dan juga adalah seorang yang pandai. Suatu kali kakak Yancey meneliti tentang jenis musik rock. Di dalam penelitiannya, ia temukan bahwa tidak ada bukti di dalam Alkitab yang dapat dijadikan dasar untuk melarang penggunaan jenis musik ini di dalam gereja. Dosen yang membimbingnya juga tidak mempunyai sanggahan yang kuat untuk melawan penelitiannya. Tapi sang dosen, tetap bersikukuh mengatakan ”pokoknya tidak boleh,” ironis bukan?


Pelayanan yang Luas dan Tanggung Jawabnya


Pertanyaan lain yang perlu kita pikirkan adalah apakah Tuhan hanya memperkenankan orang yang memiliki talenta untuk bermain musik dengan piano/organ saja? Tidak bukan? Sebab Tuhan memberikan talenta yang begitu luas dan begitu beragam kepada umat-Nya untuk melayani Dia. Bayangkan kalau hanya pemain piano saja atau pemain organ saja yang diperkenankan Tuhan untuk melayani Dia, berarti hanya sedikit orang saja yang bisa melayani Dia. Padahal secara konsep perumpamaan tentang talenta kita tahu, bahwa talenta itu mesti dikembangkan tidak boleh dipendam ataupun dihilangkan. Bahkan Tuhan sendiri menjadi marah ketika orang memendam talentanya dan tidak mengembangkannya. Menurut hemat penulis, jika kita sebagai gereja tidak memberi kesempatan kepada mereka dalam bidang musik di luar organ atau piano, atau dalam bidang apapun, sebenarnya kita telah berdosa, karena kita sebagai gereja telah menghalang-halangi seseorang untuk mengembangkan talentanya. Jadi jika benar, jikalau ada orang-orang yang dikaruniai talenta untuk bermain band tidak boleh bermain untuk ibadah di gereja, jadi dimanakah mereka harus main band? hanya di kafe-kafekah? hanya di night club – nigt club kah? di tempat-tempat yang justru membuat mereka dekat dengan dosakah? hanya diresepsi pernikahankah? Tidak bukan? Jika mereka adalah milik Tuhan, merekapun juga harus bermain musik untuk Tuhan.


Banyak juga yang berpikir bahwa ibadah menggunakan band terlalu berisik, tidak harmonis, musik terlalu keras, dll. Bagi penulis, ini adalah masalah yang serius, justru karena masalah yang seriuslah maka justru inilah tanggung jawab pelayanan itu. Segala pelayanan untuk Tuhan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, tidak serampangan, tidak amburadul. Orang yang melayani Tuhan harus mempunyai skill bukan cuma sikil (baca: modal ala kadarnya). jadi ada beberapa hal yang harus diperhatikan:

1. Pemusik harus disiapkan sungguh-sungguh, bukan hanya kemampuan bermain musiknya tetapi juga karakter pribadinya, dan juga pengenalan terhadap karakteristik alat musik yang dipergunakannya, sehingga diharapkan pelayan musik di gereja punya semangat profesional dalam bermain musik untuk Tuhan.

2. Masalah musik yang terlalu kencang, ada beberapa faktor, salah satunya adalah petugas soundman yang mengatur suara. Soundman adalah salah satu bidang pelayanan yang membutuhkan talenta. Sebagai anggota jemaat GKI penulis juga kadang merasa jengkel karena gereja-gereja GKI menganggap remeh pelayanan yang demikian ini, gereja lebih prefer menggunakan koster yang hanya menghidupkan sound terus ditinggal dan selesai dimatikan, daripada mencari anggota jemaat/koster yang memang mempunyai talenta sebagai soundman, bukankah dengan demikian memberikan kesempatan kepada yang memiliki talenta ini untuk melayani Tuhan?

3. Ketakutan yang lain adalah sebagian besar gereja GKI dekat dengan pemukiman penduduk sehingga ketika menggunakan band, maka suara akan mengganggu tetangga sekitar. Bagi penulis ketakutan yang demikian ini bukanlah tanpa alasan, penulis menghargai sikap hati yang mau memikirkan perasaan penduduk sekitar jika karena musik gereja, mereka terganggu. Tetapi jangan dengan adanya permasalahan yang demikian ini sepertinya tidak ada solusi lain. Salah satu solusinya adalah ruangan gereja perlu di treatment akustik, dalam hal ini banyak sekali anak-anak Tuhan yang mempunyai usaha dalam bidang ini. Gereja bisa berkonsultasi dengan orang-orang yang memiliki talenta yang demikian ini.


Meskipun dalam tulisan ini sepertinya penulis menitikberatkan penggunaan band daripada organ/piano, bukan berarti penulis tidak memberi sorotan bagi gereja yang ingin tetap mempertahankan tradisi ini. Namun bagi penulis, jika gereja GKI menganggap bahwa musik hymnal adalah musik yang agung, musik yang indah, maka buktikanlah di dalam ibadah-ibadah kita. Penulis sangat mendukung bagi gereja yang masih ingin mempertahankan musik hymnal, hanya saja jangan setengah-setengah. Karena jujur, penulis merasa sering dikecewakan oleh gereja GKI yang menganggap musik hymnal adalah musik yang agung tetapi di dalam ibadah tidak ditampakkan yang demikian. Latihan lagu 15 menit sebelum ibadah tanpa persiapan juga bukanlah hal yang menyenangkan Tuhan kita. Kalau kita sebagai jemaat GKI menganggap hymnal sebagai musik yang agung maka perlu digarap semaksimal mungkin.


Selain itu, penulis bukanlah orang yang mengagung-agungkan ibadah dengan menggunakan Band ataupun juga lagu Hymnal yang hanya menggunakan organ atau piano. Tetapi penulis lebih menitik beratkan kepada permasalahan bahwa segala alat musik dan jenis musik haruslah untuk memuliakan nama Tuhan, dan gereja harus bergumul dengan konteksnya masing-masing. Mengapa penulis menyimpulkan demikian? karena banyak gereja-gereja yang tidak mampu beli organ, piano, ataupun band, tapi toh mereka harus memuji Tuhan. Mereka menggunakan alat-alat sesuai dengan keadaan mereka. Sampai sekarang penulis masih terus terkesima dengan rekan-rekan dari GKI Tegalrejo Salatiga, yang di dalam berbagai kesempatan, mereka memuji Tuhan dengan menggunakan alat-alat dapur yang dijadikan musik. Sungguh indah, dan luar biasa untuk didengarkan, ini adalah sebagai suatu hasil karya kreatifitas manusia yang perlu diacungi jempol, untuk teman-teman dari GKI Tegalrejo penulis angkat topi buat kalian. Selain itu penulis juga pernah berkesempatan untuk melihat suatu gereja yang di desa, mereka tidak punya organ tetapi mereka punya gamelan, dan mereka gunakan itu. Ketika mereka memainkan puji-pujian kepada Tuhan, penulis terberkati dengan permainan gamelan mereka meskipun tidak pakai organ, piano, ataupun band. Hati yang mau memuji dan menyembah sang Khaliklah yang penting, hati yang mau memuji Tuhan atas karya keselamatan Tuhan dalam hidup merekalah yang membuat pujian itu agung, karena mereka tahu kepada siapa mereka memuji dan untuk apa.


Mengambil Keputusan dengan Bijaksana


Penulis juga menyoroti hal yang lain mengenai permasalahan penggunaan alat musik di gereja. Permasalahan yang seringkali timbul salah satunya adalah masalah gap generation. Memang, penilaian yang demikian tersebut tidaklah mutlak, tetapi minimal bisa dijadikan pertimbangan. Jika kita mau jujur, yang menyebabkan pertentangan adalah perbedaan generasi, antara yang senior dengan generasi yang lebih muda. Biasanya yang menghendaki menggunakan alat musik band adalah yang muda, dan generasi yang tualah yang biasanya masih terus menimbang-nimbang. Dalam hal ini kita yang muda harus menyadari, bahwa ”darah muda” kita senang dengan perubahan. Tetapi seringkali sebagai generasi yang lebih muda kita gagal untuk mengerti dan menghargai jerih payah dan ”prestasi-prestasi” yang telah dicapai oleh generasi yang lebih tua. Kita lupa bahwa generasi tua yang sekarang ini dulunya pernah menjalani masa muda seperti kita, mereka berjuang di gereja sama seperti kita sekarang para pemuda ingin ”mereformasi” gereja. Dulu gereja belum ada organ/piano, merekalah yang berjuang dengan jerih pelayanan mereka sampai kemudian gereja punya semua itu. Dulu gereja belum ada liturgi yang sebagus sekarang, dari hasil perjuangan merekalah liturgi GKI dapat tertata dengan baik seperti sekarang ini. Sekarang, mereka adalah generasi yang saat ini sedang menikmati kemenangan ”perang” di masa muda mereka.


Cara berpikir generasi tua adalah mengingat-ingat yang telah lalu, mereka adalah generasi yang mengingat sejarah, ini bukanlah kemunduran, tetapi sifat yang manusiawi. Kenapa? karena mereka telah berjuang dan sekarang tinggal menuai hasilnya. Nah, sekarang mari kita membayangkan jika tiba-tiba hasil yang mereka perjuangkan ini tiba-tiba berubah dari apa yang mereka cita-citakan? Maka akan terjadi ”kejutan” yang tidak menyenangkan bagi mereka. Terlebih lagi dengan model kita sebagai orang muda dengan ”ego” yang besar, yang selalu berpikir ke depan, yaitu sekarang dan yang akan datang. Kita siap untuk mengalami perubahan, dan akan sangat bangga jika bisa ikut dalam perubahan itu, hal itupun tidak salah. Tetapi jika kita paksakan maka apa hasilnya? wah ini sih pasti bisa ditebak, kita tidak ingin terjadi hal yang demikian bukan?


Oleh sebab itu sikap bijaksana, dan penuh hikmat adalah kuncinya. Penghargaan terhadap perjuangan mereka sudah sewajarnya kita berikan bagi mereka, karena bagaimanapun juga mereka adalah orang-orang yang telah dipakai Tuhan untuk memuliakan nama-Nya pada zamannya. Sehingga jika kita sebagai generasi muda ingin menambahkan sesuatu yang lain di dalam perjuangan mereka dahulu, ada baiknya kita tetap melibatkan usul dan sumbang saran mereka, jadikanlah generasi tua sebagai penasehat generasi yang lebih muda. Saya yakin sebagian besar generasi tua bukanlah orang yang ingin menghambat perubahan jika perubahan itu baik. Generasi tua ingin melihat bukti yang baik dari segala perubahan yang baik. Bagaimana mereka bisa menilai bahwa perubahan itu akan baik jika kita melakukannya dengan cara yang tidak baik? main hantam, seruduk sana seruduk sini, tidak jadi berkat bukan? Duduk diam berpikir bersama mereka mungkin salah satu hal yang dapat membuat mereka tahu kita menghargai mereka.


Penulis berkata bahwa kita ingin menambahkan dari apa yang telah mereka perjuangkan. Hal ini bukanlah tanpa maksud, karena bagi penulis, generasi muda adalah generasi penerus dari perjuangan generasi tua, dan seharusnyalah ”link’ itu tidak terputus. Terputusnya ”link” menandakan suatu ketidakberesan. Artinya, memelihara yang baik yang sudah mereka hasilkan adalah termasuk tugas kita. Sebaliknya, menghilangkan sama sekali apa yang sudah mereka kerjakan juga bukan sikap yang bijak. selain itu kita sebagai generasi muda mesti meneruskan karya mereka dan menambahkan apa yang belum sempat mereka wujudkan. Artinya, jangan hilangkan liturgi yang baik yang sudah ada, jangan hilangkan penggunaan organ/piano jika sebagian besar jemaat masih nyaman dengan itu. Namun, jika memang konteks sudah memungkinkan kita untuk melaksanakan ibadah dengan model yang lain, kenapa tidak kita lakukan dengan dukungan dari mereka juga. Bagaimana caranya? kita bisa gunakan angket, tentunya ini dengan persetujuan majelis. Dengan angket diharapkan kita mengetahui konteks dari anggota jemaat sendiri apakah mereka nyaman dengan perubahan tersebut, kalau sebagian besar sudah ”siap” kenapa tidak segera mulai? Namun jika hasilnya sebagian besar belum siap, mari dengan sadar dan rendah hati harus mengakui, memang bukan sekarang saatnya, sambil terus berdoa.


Penutup


Sebagai sharing, kami di GKI Ambarawa telah melaksanakan kebaktian dengan model yang lain dengan menggunakan alat musik band. Kami bersyukur, sebab generasi tua yang sebelumnya kami kira akan menentang upaya kebaktian dengan model yang demikian, malahan tidak terjadi. Justru di dalam berbagai kesempatan paduan suara usia indah (begitulah mereka ingin disebut, dan bukan lansia karena bagi mereka lansia berarti sudah lanjut di sia-sia/sudah lanjut disengsarakan) meminta diiringi dengan band. Kenapa hal ini bisa terjadi? karena terlebih dahulu sudah dishare- kan akan kemungkinan pilihan yang demikian ini, mereka yang tua tidak ditinggalkan tetapi dihargai keberadaannya. Misalnya dalam satu contoh kasus, ketika akan menggunakan band, Boksu kami sempat mempertanyakan dengan jiwa yang berbelas kasih kepada generasi tua, tentang apakah mereka bisa tahan dengan suara band yang pasti akan lebih keras daripada jika tidak menggunakan band (terlebih alat band di tempat kami bukanlah alat yang mahal, dan belum semua pemainnya profesional). Mereka menjawab ”Boksu tubuh kami tua, tapi jangan menghina kami, sebab kami berjiwa muda” maka bernyanyilah mereka dan bergoyang mengikuti irama band, dengan senyuman bahagia yang terpancar dari wajah renta, dan suara yang pasti sudah tidak merdu lagi mereka bersenandung:


”Yesus kekasih jiwaku sungguh kupercaya pada-Mu,
karena kasih-Mu padaku Kau tebus dosaku
dari terbitnya matahari dan sampai terbenamnya
kunaikkan lagu pujian Mashurkan nama-Nya

Dengan gendang kupuji-kupuji
dengan kecapi Ooooo
Kubernyanyi Haleluya Tinggikan Nama-Nya”


Yah, mereka menyanyi untuk Tuhan Yesusnya yang sudah menyelamatkan dosa mereka, Tuhan yang sudah begitu setia memelihara hingga masa tua mereka. Mereka beryanyi hanya bagi Tuhan Yesus mereka.


NIL NISI CHRISTUM PRAEDICARE
(To Proclaim Nothing but Christ)

* Tulisan ini dipersembahkan penulis untuk Gereja penulis yaitu GKI Ambarawa tercinta, sehingga jika konteksnya adalah GKI harap dimaklumi. Tulisan ini diambil dari tulisan yang sudah lama saya posting di Webnya GKI. Alasan ditulis di sini, he ... he... ya kira-kira supaya dilihat aktif nulis.



Andronikus Rony Susaka

2 comments:

Unknown said...

Jangan berhenti untuk terus berkarya, semoga

kesuksesan senantiasa menyertai kita semua.
keep update! Velg mobil

Unknown said...

Thanks ya atas artikel nya ... jadi sadar (y) saya sebagai generasi muda penerus musik Allah di GKE (Gereja Kalimantan Evangelis) #PujiTuhan