Monday, January 14, 2008

DON’T JUDGE A BOOK FROM ITS COVER


DON’T JUDGE A BOOK FROM ITS COVER

(SENI MERAYAKAN HIDUP DALAM KEBERAGAMAN)


PENDAHULUAN


Dalam kampanye pemilihan presiden di Amerika Serikat kali ini, tampil satu tokoh yang fenomenal, yaitu Barrack Obama. Kenapa saya mengatakan fenomenal, sebab Obama ini bukanlah orang “pure” Amerika yang notabene “kulit putih” tetapi ia adalah warga negara Amerika yang keturunan Kenya, dan terlebih lagi ia adalah orang yang di masa kecilnya hidup yang dekat dengan kultur Asia, karena ia pernah tinggal dan bersekolah di Indonesia, bahkan lebih lagi ia bahkan pernah disebut-sebut pernah memeluk agama Islam. Padahal bukankah jika kita menilik bagaimana pandangan sebagian dunia Arab ataupun bagi negara-negara yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam, Amerika ini sering dilabeli sebagai negara “Kristen” yang anti Islam, bahkan belum pernah ada yang presidennya bukan berkulit putih. Melalui fenomena yang demikian ini Christianto Wibisono dalam Suara Pembaruan, menulis


Latar belakang sejarah ini sekarang mulai terkuak dan merupakan bagian dari ujian sejarah, apakah AS akan lulus sebagai negara demokrasi sejati yang tidak terhambat oleh faktor sentimen primordial seperti ras, etnis, keturunan, dan agama. Jika John Kennedy menghadapi masalah Katolik dan Mitt Romney agama Mormon, maka yang menimpa Obama adalah dua masalah sekaligus, etnis campuran imigran Kenya dan isu bahwa ia pemeluk Islam semasa hidup di Indonesia.


Sebuah tanggapan yang sangat bagus, bahwa inilah yang terjadi dalam demokrasi, ada keterbukaan, ada persamaan hak, ada persamaan derajat sebagai manusia. Hal ini berbeda dengan Indonesia, yang kata sebuah blog yang anti Indonesia mengatakan, “Kalau di Indonesia yang menjadi Presiden harus Islam, harus Jawa, kalau, yang bukan itu mana bisa?”


Mungkin bagi kita yang mendengar ini gerah juga rasanya, walaupun kalau dipikir-pikir ada juga sisi benarnya, namun sekali lagi kita jangan keburu-buru menghakimi dulu kalau negara ini pasti begitu. Tapi nggak usah nge-judge negara dululah. Kita kembali dulu kepada gereja, jangan-jangan gereja juga punya semangat yang seperti itu lho. Suatu contoh, suatu kali teman saya (yang sekarang sedang menjalani proses sebagai calon pendeta di suatu sebuah gereja) pernah cerita kepada saya, “Ron, salah satu gereja di kota itu sedang butuh hamba Tuhan, tetapi Majelisnya bilang harus yang sukunya A, soalnya kalau yang diluar A takutnya golongan dari suku A gak ada yang ke gereja. Tetapi kalau dari suku A yang jadi pendeta maka suku-suku yang lain akan masuk gereja.” Waduh saya berpikir kalau gereja yang sebagai wakil Allah di dunia ini saja seperti itu, bagaimana dengan negara dimana gereja itu ada ya? Pasti negaranya sama parahnya atau juga lebih parah daripada itu. Maka benarlah Ronald J. Sider menulis buku “The Scandal of The Evangelical Conscience” yang mengungkapkan bahwa orang Kristen di Amerika bahkan yang mengaku diri lahir baru adalah justru gereja-gereja yang mendukung rasialisme, menyedihkan bukan? Penelitian tersebut dilakukan di Amerika yang notabene adalah negara demokrasi yang menjamin kebebasan tiap individu, apalagi jika hal ini dilakukan di gereja-gereja Indonesia penulis menduga pasti hasilnya jauh lebih besar, apa sebab? Karena di Indonesia ini saja berapa banyak gereja yang didirikan karena adanya semangat kesukubangsaan? Banyak bukan? Justru hal inilah kalau tidak berhati-hati maka gereja justru menjadi ladang yang subur dalam memelihara rasialisme yang tentunya di benci oleh Tuhan. Oleh sebab itu melalui tulisan ini penulis ingin berbagi dengan warga GKI dalam menggumuli masalah ini.


MENILIK KEPADA FIRMAN TUHAN


Mari kita melihat Matius 1:1-17;

1 Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham.

2 Abraham memperanakkan Ishak, Ishak memperanakkan Yakub, Yakub memperanakkan Yehuda dan saudara-saudaranya,

3 Yehuda memperanakkan Peres dan Zerah dari Tamar, Peres memperanakkan Hezron, Hezron memperanakkan Ram,

4 Ram memperanakkan Aminadab, Aminadab memperanakkan Nahason, Nahason memperanakkan Salmon,

5 Salmon memperanakkan Boas dari Rahab, Boas memperanakkan Obed dari Rut, Obed memperanakkan Isai,

6 Isai memperanakkan raja Daud. Daud memperanakkan Salomo dari isteri Uria,

7 Salomo memperanakkan Rehabeam, Rehabeam memperanakkan Abia, Abia memperanakkan Asa,

8 Asa memperanakkan Yosafat, Yosafat memperanakkan Yoram, Yoram memperanakkan Uzia,

9 Uzia memperanakkan Yotam, Yotam memperanakkan Ahas, Ahas memperanakkan Hizkia,

10 Hizkia memperanakkan Manasye, Manasye memperanakkan Amon, Amon memperanakkan Yosia,

11 Yosia memperanakkan Yekhonya dan saudara-saudaranya pada waktu pembuangan ke Babel.

12 Sesudah pembuangan ke Babel, Yekhonya memperanakkan Sealtiel, Sealtiel memperanakkan Zerubabel,

13 Zerubabel memperanakkan Abihud, Abihud memperanakkan Elyakim, Elyakim memperanakkan Azor,

14 Azor memperanakkan Zadok, Zadok memperanakkan Akhim, Akhim memperanakkan Eliud,

15 Eliud memperanakkan Eleazar, Eleazar memperanakkan Matan, Matan memperanakkan Yakub,

16 Yakub memperanakkan Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus.

17 Jadi seluruhnya ada: empat belas keturunan dari Abraham sampai Daud, empat belas keturunan dari Daud sampai pembuangan ke Babel, dan empat belas keturunan dari pembuangan ke Babel sampai Kristus.


KONTEKS DAN PENJELASAN:


Menurut tradisi Injil Matius adalah Injil yang ditulis oleh Lewi seorang Yahudi untuk meyakinkan akan bukti kemesiasan Tuhan Yesus Kristus kepada orang-orang Yahudi. Bagi banyak orang, silsilah ini ingin menunjukkan kepada orang-orang Yahudi bahwa Yesus secara keturunan adalah “trah” Yahudi. Kenapa hal ini penting bagi orang Yahudi? Karena orang Yahudi adalah bangsa yang sangat menjunjung tinggi keyahudiannya, karena mereka merasa sebagai bangsa pilihan. William Barclay menulis bahwa orang-orang Yahudi dalam doanya mereka bersyukur karena mereka adalah orang Yahudi bukan bangsa Kafir. Maka tidak heran jika bangsa Yahudi tidak mau mengakui Herodes sebagai pemimpin mereka karena Herodes (Pasal 2) bukanlah bangsa Yahudi Asli tetapi adalah bangsa Idumea (Edom saudara Israel).


Pandangan yang demikian ada benarnya juga, tetapi penulis lebih memilih bahwa silsilah itu dimaksudkan justru sebagai suatu penggenapan nubuat kemesiasan Tuhan Yesus Kristus seperti yang tertulis di dalam Kitab Suci orang Yahudi. Sebab bagi orang Yahudi, Kitab Suci, yaitu Kitab Torah dan Para Nabi adalah hal yang sangat penting bagi mereka, dan kemesiasan menjadi sah dan valid jika di dalam Kitab Suci mereka telah tertulis terlebih dahulu. Kenapa penulis berkata demikian? Hal ini dikarenakan ada di antara silsilah-silsilah itu yang justru “memperlemah” keyahudian Yesus Kristus, dikarenakan adanya orang-orang yang justru di luar Yahudi, bahkan ada juga berlatar belakang kurang baik. Keempat orang itu adalah Tamar (3), Rahab dan Rut (5) dan Istri Uria [Betseba] (6). Sampai tahap ini penulis berpendapat bahwa Firman Tuhan ingin menunjukkan kepada kita bahwa ketika hidupnya di dalam dunia ini di dalam tubuh Yesus sudah mengalir darah suku-suku bangsa, dan Yesus adalah universal. Betul Yesus adalah Yahudi. Tetapi meskipun Yesus yang penulis akui sebagai Tuhan adalah orang Yahudi, bukankah bangsa Yahudi merasa bahwa ia adalah bangsa pilihan yang merasa superioritas, tetapi Yesus yang adalah Tuhan menggoncang dasar kesuperioritasan Yahudi dengan dialirkan darah suku-suku bangsa di dalam tubuhnya yang mulia, sungguh indah dan luar biasa.


Dalam Injil matius pasal yang pertama ini saja Yesus sudah mengguncangkan kita bahwa sebenarnya Yesus telah menebus dan mendudukkan suku-suku bangsa di dalam satu tubuh yang paling mulia yaitu tubuh Kristus sendiri, seluruh suku-suku bangsa telah diperdamaikan untuk hidup bersama di dalam tubuh yang Mulia yaitu Yesus Kristus sendiri. Bukankah sekarang tubuh Kristus di masa sekarang itu adalah gereja itu sendiri, yang sudah diperdamaikan oleh darah Kristus untuk bisa duduk diam, hidup bersama-sama, hidup berdampingan satu sama lain dalam kadar, derajat yang sama sebagai manusia yang sudah sama-sama ditebus seperti Firman Tuhan, “Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya” (Roma 10:12).


Memang membicarakan masalah ini secara teoritis sangatlah mudah namun di dalam kenyataannya, banyak sekali rintangan-rintangan dan hambatan-hambatan yang ada untuk kita bisa duduk dalam derajat dan harkat yang sama? Maka di bawah ini penulis mencoba untuk memikirkan rintangan-rintangan dan hambatan-hambatan untuk kita bisa melaksanakan Firman Tuhan ini?


HAMBATAN-HAMBATAN


KESUPERIORITASAN SUKU BANGSA


Kita tidak bisa menutup mata bahwa setiap bangsa akan mengklaim kesuperioritasannya. Mau tidak mau, suka tidak suka kita mengakui ini, kita dilahirkan ke dalam dunia ini dengan membawa “gen superior” menganggap bangsa sendiri sebagai bangsa yang lebih unggul dari bangsa yang lain. Bukankah sejarah telah membuktikan bahwa “pembersihan” etnis kerap terjadi di dalam dunia ini karena merasa bahwa bangsa sendiri lebih unggul? Hitler bersama bangsa Arya Jermannya merasa superior dan mengakibatkan pembersihan “holocoust” etnis Yahudi, Ku Klux Klan berkulit putih yang ingin menghabisi warga Afro-American yang hitam, politik “Apartheid” di Afrika yang berusaha menyingkirkan hak-hak suku Aborigin, yang ironisnya peristiwa-peristiwa tersebut justru memperoleh “dukungan mesra” dari gereja pada masa itu. Ya, gereja mempunyai sejarah yang kelam dengan masalah rasialisme ini yang berpangkal pada kesuperioritasan sebuah bangsa sehingga ingin menghancurkan bangsa yang lain dan memandang bangsa yang lain lebih rendah.


Di dalam Firman Tuhan pernah ada yang menggumulkan masalah ini, Ahli Taurat sebagai orang yang taat beragama bertanya tentang hidup kekal, dan bertanya “Siapakah sesamaku manusia?” (Lukas 10:29), dengan demikian pertanyaan ini menyiratkan bahwa orang lain tidak otomatis sama. Dalam menjawab pertanyaan ini Tuhan Yesus menggunakan suatu cerita:


30 Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. 31 Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. 32 Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. 33 Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. 34 Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. 35 Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.


Ini adalah cerita yang sudah kita kenal bukan? Ada seorang yang dirampok, tetapi disitu berturut-turut ada seorang Imam dan Lewi yang lewat, tetapi mereka tidak melakukan apa-apa, mereka menghindar. Sebagai manusia mungkin mereka bersimpati tetapi tidak punya aksi karena jangan-jangan mereka malahan ikut-ikutan dirampok. Sedangkan orang Samaria bukan hanya simpati, dan bukan Cuma advis, tetapi punya aksi yang konkret. Perumpamaan ini menyentak, sebab orang Yahudi dan orang Samaria telah lama bermusuhan dan tidak saling sapa, karena menganggap diri mereka lebih baik. Apa yang membuat orang Samaria ini memiliki aksi yang demikian mulia, karena ia memiliki hati yang berbelas kasih yang menembus batas-batas etnis dan agama.


Sampai di sini Yesus tidak meneruskan ceritanya, malah Yesus balik bertanya, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!"


Mengapa Yesus tidak menjawab pertanyaan ahli Taurat “Siapakah Sesamaku Manusia?” Bagi Yonky Karman, pertanyaan itu adalah keliru, sebab berarti ada orang yang termasuk kelompokku tetapi ada juga orang yang bukan termasuk kelompokku. Atau lebih jahat adalah ada orang yang masuk kelompokku adalah manusia tetapi ada orang yang memang manusia tetapi bagiku bukan manusia. Sehingga pertanyaan yang demikian menempatkan si penanya sebagai pemberi kriteria siapa saja yang menjadi sesamanya dan yang bukan sesamanya, karena tidak semua orang adalah sesamanya.


Oleh sebab itu Tuhan Yesus mengubah pertanyaannya, menghancurkan dasar dan logika berpikir orang Yahudi yang merasa superioritas itu dengan pertanyaan siapakah yang menjadi sesama bagi orang yang malang itu? Kriteria sesama tidak lagi ditentukan oleh si penanya tetapi orang yang membutuhkan pertolongan yang membutuhkan pertolongan dari siapa saja, sederhananya pertanyaannya menjadi sudahkah aku menjadi sesama bagi orang lain?


PELABELAN SUATU SUKU BANGSA


Hal selanjutnya yang merintangi kita untuk bisa menerima suku-suku yang lain adalah kita terlanjur dicemari dengan “stereotip–stereotip” tertentu. Misalnya orang Jawa hanya bisa menjadi pembantu Rumah Tangga, Gadis-gadis Manado adalah gadis-gadis yang berat diongkos, Kalau kita bertemu kernet bus kota pasti orang Batak, dll. Hal-hal tersebut adalah pikiran-pikiran yang telah teracuni. Kita lupa bagaimanapun suatu bangsa mempunyai tradisi dan ciri khasnya masing-masing, tetapi pribadi orang tetap berlain-lainan. Namun masalahnya kita sudah cenderung dengan gampang memberi “label” kepada mereka.


Dalam Injil Yohanes 1:46 diceritakan Natanael pernah mempertanyakan atau lebih tepat dibilang dengan memperolok Yesus dengan berkata: "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?" Pertanyaan Natanael tentang Yesus yang berasal dari Nazaret ini bukanlah tanpa alasan. Menurut R.T. France, Nazaret bukanlah kota penting, hanya kota kecil yang tidak lebih dari desa yang tidak terkenal, tanpa arti dalam sejarah, namun terlebih lagi adalah kota itu setengah kafir, jadi jelas bagi seorang Yahudi sejati pergaulan dengan sesuatu yang kafir kalau bisa dihindari. Jadi Natanael sudah memasang “cap” kepada Yesus. Cap atau label yang diberikan kepada Yesus bukanlah cap yang baik tetapi adalah cap yang “mengeneralisasi yang sebenarnya tidak general.” Natanael tidak mengenal Yesus, Natanael belum bertemu dengan Yesus, belum menyelidiki tetapi langsung menyimpulkan, dan kesimpulannya adalah kesimpulan yang salah.


Tetapi Yesus menjawab Natanael yang datang kepada-Nya, lalu berkata tentang dia: "Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!(Yoh 1:47)" Label buruk yang dialamatkan Natanael kepada Yesus, tidak ditanggapi sebagai gantinya Yesus justru memuji Natanael sebagai orang Israel sejati yang tidak ada kepalsuan di dalam diri Natanael. Yesus mengatakan ini bukan tanpa maksud, dan bukan hanya sekedar melempar bola balik, tetapi Yesus mengatakan ini dengan analisa yang cermat nggak “asbun alias asal bunyi” karena di ayat 48, Natanael bertanya, "Bagaimana Engkau mengenal aku?" Jawab Yesus, "Sebelum Filipus mengatakan mengenai Aku kepadamu, Aku telah melihat engkau di bawah pohon ara." Yesus Melihat, mengamati, menyelidiki bagaimanakah sifat Natanael. Yesus memberikan pandangannya kepada Natanael secara personal, dan bukan “gebyah uyah.” Frase “inilah seorang” adalah menunjukkan suatu kepersonalitasan Natanael secara utuh dan lengkap dan bukan yang lain, hanya Natanael. Selain itu Yesus mengamati dengan cermat pula, sebab frase “di bawah pohon ara," adalah menunjukkan suatu kegiatan yang bukan sembarangan, tetapi mengacu kepada tindakan berdoa, mempelajari kitab-kitab, dan beribadah. Dan Yesus mengetahui ini dengan suatu proses analisa dan bukan hanya sekedar kata orang dan sentimen pribadi. Inilah yang sebenarnya mesti kita ingat seperti sikap Yesus ketika kita ingin menilai seseorang, yaitu kenali secara pribadi.


ADANYA LUKA BATIN DALAM SEJARAH


Setiap kehidupan manusia memiliki sejarah karena manusia hidup dalam ruang dan waktu. Karena manusia hidup dalam ruang dan waktu maka akan ada berbagai macam peristiwa di dalam kehidupannya. Masalahnya tidak semua sejarah itu baik, sejarah yang baik akan kita kenang sebagai kenangan yang memberi semangat. Tetapi sejarah kita juga kadang-kadang diwarnai dengan kesedihan. Kesedihan inilah bisa mengakibatkan luka batin dalam sejarah kita. Luka-luka itu bermacam-macam, adanya perlakuan yang tidak adil karena menjadi satu suku bangsa tertentu, hak-hak kita merasa diinjak-injak karena kita sebagai satu suku bangsa tertentu, kita tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai karena kita sebagai satu bangsa tertentu. Dalam segala abad permasalahan-permasalahan seperti ini akan terus muncul, masalahnya bagaimanakah kita menyikapinya.


Dalam Kitab Suci disebutkan adanya kisah Yesus yang menemui seorang perempuan Samaria, kisah ini sangat kompleks. Pertentangan antara Yahudi dan Samaria, Pertentangan tempat menyembah, dan juga masalah “pribadi” wanita ini yang bersuamikan banyak orang, yang tentunya juga dikucilkan. Tetapi Yesus ingin membebat “luka-luka sejarah” di dalam hidup wanita Samaria ini, Yesus mendatangi dengan sikap yang bersahabat sehingga luka sejarah itu dapat segera dibereskan. Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: "Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?" (Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria) [Yohanes 4:9]. Sebagai suku bangsa, orang Samaria dan orang Yahudi punya sejarah yang kelam, mereka tidak bergaul, tidak bertegur sapa, saling menjatuhkan. Tetapi sekarang Yesus datang untuk menawarkan kesembuhan batin atas luka sejarah yang pernah dialami. Mereka yang tidak pernah berelasi, kini berelasi, mereka yang tidak pernah bertegur sapa kini bertegur sapa.


Pada bagian ini lebih unik lagi karena peristiwa pertemuan Yesus dengan perempuan Samaria ini adalah pertemuan di sumur, di mana para gadis atau wanita sedang menimba air. Di dalam perjanjian lama, peristiwa menimba air dan pertemuan di sumur adalah pertemuan dalam menemukan pasangan hidup. Contohnya ketika, Ishak dicarikan jodoh, diawali dengan peristiwa di sumur dan menimba air. Sehingga jika dikaitkan secara teologis, Yesus yang adalah Tuhan sedang mencari mempelai perempuan bagi-Nya. Dan gereja adalah mempelai perempuan yang sudah ditemukan oleh Tuhan Yesus Kristus. Mempelai perempuan yang sudah terbuang, tidak layak, tidak berharga, berdosa, kini dipulihkan kembali. Yesus menebus gereja-Nya, Yesus menebus suku-suku bangsa, karena Yesus mengasihinya.


Sehingga jelas di dalam Yesus luka-luka batin sejarah kita seharusnya sudah ditaklukkan oleh Kristus. G. K. Chesterton pernah berkata “Apakah yang salah dengan dunia ini?” dan dengan tegas ia menjawab “Sayalah masalahnya.” Kita mungkin di dalam pergumulan luka batin sejarah bangsa kita bertanya, tanya dalam hati tentang ketidakadilan, ketidaksempurnaan. Seperti Chesterton harusnya kita berani berkata “Sayalah masalahnya” karena apapun itu yang menimpa kita, seringkali ada juga andil kita di dalamnya, entah kadarnya banyak entah itu sedikit. Kenapa bisa demikian? Seperti yang penulis yakini, kita adalah manusia yang berdosa. Bukankah akibat dosa yang pertama adalah manusia membunuh manusia lainnya?(peristiwa kain dan habil). Dan itu akan terus ada sepanjang kita tidak menyadari ada anugerah yang lebih besar untuk memampukan kita untuk tidak mengulanginya. Tetapi puji Tuhan, Yesus Kristus menang atas maut untuk menebus manusia, untuk menebus peradaban, menebus tradisi, untuk ditundukkan dibawah hukum Allah, yaitu hukum kasih dan anugerah-Nya.


SOLUSI


Pergumulan tentang perbedaan itu akan selalu ada di sepanjang abad, tetapi hendaknya gereja Tuhan menjadi teladan di garis depan untuk mewujudkan adanya satu bentuk persatuan, persamaan hak, derajat, martabat dari setiap manusia. Sebab jika gereja, sebagai wakil Allah, dan juga sebagai tempat pelatihan Kerajaan Allah di dunia ini gagal untuk memberikan teladan dan sumbangsih ini, kepada siapa lagi dunia akan mencari teladan. Firman Tuhan "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang (Matius 5:13).” Gereja Tuhan di negara Indonesia harus menangkap visi ini. Sebab kata Indonesia menunjukkan suatu kemajemukan budaya, suku bangsa, yang begitu beragam.


Pada saat saya masih berkuliah di Malang, saya mengikuti kebaktian di salah satu geraja Malang. Pada saat itu yang berkhotbah adalah seorang dosen di salah satu sekolah teologi injili di Malang. Dalam khotbahnya beliau menyampaikan bahwa Gereja masa depan Indonesia adalah gereja yang Multi-Etnis, hal ini dikarenakan karena latar belakang bangsa yang beragam dan plural. Gereja di Indonesia yang baik bukan lagi gereja yang mengedepankan kesukuannya, tetapi adalah gereja yang dapat menampung berbagai macam suku bangsa dapat hadir beribadah, dan menikmati ibadah. Karena demikianlah nanti suasana surga, seluruh bangsa akan bersatu berkumpul dan menyembah Yesus Kristus sang Kepala Gereja. Pada saat Hamba Tuhan tersebut berkhotbah, iseng-iseng saya melepaskan pandangan ke seluruh ruangan gereja itu. Karena saya laki-laki normal maka yang saya lihat adalah gadis-gadis yang hadir kebaktian. Saya takjub, gadis-gadis dari berbagai macam suku bangsa, baik dari yang berkulit putih sampai hitam, dari yang berambut keriting sampai yang lurus, dari yang matanya sipit sampai yang bulat, dan menurut pandanganku saat itu semuanya cantik-cantik, dalam hati saya berteriak Puji Tuhan, Allah sungguh Ajaib.


Oleh sebab itu mungkin ada beberapa hal yang harus gereja Tuhan lakukan supaya kita menjadi gereja yang memang Multi-Etnis:


MENJADI SESAMA


Sikap merendahkan diri dan memjadi sesama sangat diperlukan, yang masing-masing tidak merasa bahwa dirinya adalah paling baik. Seperti yang saya ingat, Pdt. Eka Darmaputera pernah menulis bahwa ketika seseorang dilahirkan ke dalam dunia ia tidak bisa memilih, itu adalah sesuatu yang “given” atau dari sononya tentunya sesuai dengan hikmat-Nya, karena sudah dari sononya kita adalah sama-sama ciptaan, memandang rendah ciptaan dan hikmat-Nya dalam menciptakan manusia, berarti memandang rendah Allah Sang Pencipta. Sehingga yang perlu diingat adalah kita ini sama-sama manusia, mensyukuri apa yang Tuhan sudah tetapkan. Maka itu kenalilah sesama kita secara personal, dan bersahabat dengan siapa saja.


REKONSILIASI


Sikap ini diperlukan, bagi kita yang pernah terluka oleh perlakuan ketidakadilan karena kita sebagai satu suku bangsa. Henry Nouwen pernah menulis, bahwa yang terlukalah yang mesti menyembuhkan. Bagi saya hal ini adalah Alkitabiah, karena sesuai dengan apa yang Allah perbuat. Karena manusia yang berdosa maka Allahlah yang menyelesaikannnya dengan mengirimkan Yesus ke dunia.


Satu kali saya berkata kepada Boksu yang orang Tiong-Hoa, “Saya benci orang Tiong-Hoa!!!” hal ini karena saya merasa dilecehkan di gereja hanya sebagai “bolo dupak” (Teman yang ditendang) artinya kalo ada pekerjaan yang menyangkut kerja bakti saya diundang untuk membantu segala perlengkapan angkat junjung, pada saat itulah saya diperlakukan sebagai “teman”. Tapi, giliran ada kegiatan yang lebih asyik, ada pesta sedikit, kumpul-kumpul, makan-makan, gak pernah diinget bahkan kenalpun tidak, saya sakit…kit…kit. Boksu diam, lalu beliau berkata, “Ron, saya juga benci orang Jawa, bayangkan Ron sejak saya kecil sampai SMA saya selalu menjadi bulan-bulanan orang Jawa.” Mereka berkata, “Hai ada Cina gendut, ayo kita serang!!!!!” Sehingga hal ini membuat dia trauma dan benci dengan orang Jawa. Saya sadar, saya terluka dengan orang Tiong-Hoa. Demikian juga Boksu pernah terluka dengan orang Jawa. Lalu Boksu berkata, “Ron, maafkan bangsaku telah membuatmu terluka.” Sayapun berkata, “Boksu, maafkan bangsaku yang telah membuat Boksu terluka.” Kami menangis, kami berjabat tangan dan berdoa, ada kedamaian yang indah, beban bertahun-tahun itupun lepas. Apalagi sekarang, he.. he setelah bertahun rekonsiliasi tersebut, sekarang aku justru mendapatkan calon istri orang Tiong-Hoa, orang tuanya sudah setuju lagi, Puji Tuhan.


MENGUTAMAKAN FIRMAN TUHAN


Banyak umat Tuhan mengerti Alkitab, tetapi persoalan mau tunduk dan tidak adalah soal yang lain. Bagi Tuhan Yesus, silsilah di dalam diri-Nya ingin menunjukkan selain suku bangsa juga ada berbagai macam tradisi yang mengalir di dalam diri-Nya sebagai orang “Yahudi.” Tetapi yang membedakan adalah, Yesus tahu bahwa baik diri-Nya, hidup-Nya, tradisi yang mengalir di dalam darah-Nya, suku bangsa yang mengalir di dalam darah-Nya ditundukkan kepada Bapa yang disembah-Nya. Sehingga jelas di sini, siapa mengontrol siapa. Yang absolute mengontrol yang relatif. Masalahnya siapa yang absolute bagi kita?

Menguji Kecocokan Dengan Pasangan

Seberapa cocok Anda dengan pasangan Anda? Semakin banyak kita memiliki kesamaan biasanya dianggap cocok. Bagaimana dengan pendapat bahwa perbedaan justru membuat pasangan saling melengkapi?

Bayangkan, seandainya mantan Presiden Soeharto itu isterinya bukan Ibu Tien melainkan Ibu Gedong Oka, pemimpin spiritual Hindu yang meneruskan ajaran Mahatma Gandhi. Atau bayangkan, seandainya Presiden Megawati yang oleh khalayak dikenal sedikit bicara itu suaminya bukan Taufik Kiemas yang punya ambisi politik besar, melainkan Topan atau Leysus yang jago mengocok perut.

“Nggak cocok,” mungkin ada di antara Anda yang berkomentar begitu. Mungkin Pak Harto tidak akan berkuasa 32 tahun. Atau mungkin nasib Indonesia akan berbeda? Dan mungkin Bu Mega malah tidak jadi presiden. Dalam garis besarnya ada dua teori yang berbicara tentang membangun hubungan baik. Sebagian pakar psikologi bicara tentang teori komplementasi, yaitu bahwa masing-masing pasangan memiliki ciri dan sikap berlawanan. Mereka tertarik justru karena ada perbedaan, untuk kemudian bisa saling melengkapi, dan sempurna sebagai satu kesatuan.

Sementara itu pakar psikologi yang lain berpegang pada teori kesamaan. Riset (di Barat) menunjukkan bahwa selama posisi mereka sejajar, maka minat atau hobi, sikap, dan latarbelakang yang sama akan membuat pasangan itu langgeng. Ini masuk akal, sebab ruang bagi konflik menjadi sempit, sehingga peluang untuk bahagia lebih besar.
Memiliki hobi dan minat yang sama membantu pasangan bisa langgeng. Bukan Cuma karena mereka bisa melakukan sesuatu bersama-sama, tapi juga bisa ‘nyambung’ kalau bicara.

Kuiz yang dibuat oleh pakar psikologi dari Amerika, Dr. Glenn Wilson, berikut ini bisa menjadi alat untuk mengetes apakah Anda dan pasangan benar-benar cocok. Kalau pun tidak cocok, selama Anda berdua tahu situasinya dan dapat menerimanya, tentu saja kebahagiaan tetap bisa menjadi milik Anda.

Kualitas Hubungan Interpersonal

Pilih salah satu jawaban yang paling sesuai dengan Anda, lingkari huruf di depannya!
1. Apakah Anda sering berpikir soal mengakhiri hubungan dengan pasangan?
a. Betapa menyakitkan jika Anda berdua sampai berpisah.
b. Gagasan itu muncul ketika sedang muak dengan pasangan Anda.
c. Gagasan itu muncul hampir setiap hari.

2. Seberapa sering Anda dan pasangan berbagi cerita rahasia?
a. Anda selalu saling menceritakan semua ketakutan, fantasi, dan perasaan terdalam.
b. Ada hal-hal dalam hidup yang Anda tetap jaga sebagai rahasia pribadi.
c. Hubungan Anda ditentukan oleh kebohongan yang Anda lakukan setiap saat.

3. Saat Anda berulangtahun, pasangan Anda akan:
a. Dengan instingnya mengetahui secara tepat apa yang Anda inginkan.
b. Bisa jadi membelikan sesuatu, tapi nantinya harus Anda tukar ke tokonya.
c. Menghabiskan banyak uang untuk membeli hadiah yang tidak berguna.

4. Apakah Anda senang berduaan saja?
a. Pasangan Anda adalah orang yang paling menggairahkan hidup Anda.
b. Anda merasa bahwa pisah satu sama lain membuat Anda tetap terpikat.
c. Anda mencoba menghilangkan kebosanan dengan menghadirkan banyak teman.

5. Jenis perbedaan pendapat mana yang Anda punya?
a. Ketidaksepakatan boleh saja tapi segera dicari jalan keluarnya.
b. Ada beberapa topik yang menurut Anda lebih baik tidak dibicarakan.
c. Anda selalu cekcok, baik untuk masalah kecil maupun besar.

6. Apakah pasangan Anda merupakan pilihan yang terbaik?
a. Anda tidak pernah bertemu orang lain yang membuat diri Anda sangat berarti.
b. Anda yakin bahwa hidup itu kompromi, dan Anda bisa melakukan dengan baik.
c. Anda memilih yang terbaik dari yang buruk, dan berharap yang lebih baik akan muncul.

7. Anda tiba di rumah kepanasan dan kecapekan. Pasangan Anda akan:
a. Membolehkan Anda marah-marah, lalu melakukan yang terbaik sehingga muncul kembali tawa dan canda.
b. Mengambilkan minuman lalu meninggalkan Anda sementara waktu.
c. Menyerbu Anda dengan masalahnya, sebelum Anda sempat duduk.

8. Ketika pergi ke pesta Anda selalu mencari-cari:
a. Percakapan yang menggairahkan.
b. Persahabatan baru.
c. Seorang pengganti pasangan Anda.

9. Anda memergoki pasangan Anda terlibat hubungan yang dekat dengan orang yang sangat menarik. Yang Anda perhatikan adalah:
a. Ketidakmampuan Anda yang sangat jelas untuk memuaskannya.
b. Anda sudah tidak muda lagi.
c. Kehilangan sumber keuangan Anda.
10.Bagaimana Anda menjelaskan hubungan dengan pasangan Anda?
a. Pasangan kekasih yang sangat sempurna.
b. Penuh gairah, tapi ada naik turunnya.
c. Lebih baik daripada kesepian.

Cara menghitung dan menafsirkan:
Kuiz ini menggambarkan kualitas hubungan interpersonal Anda dengan pasangan. Faktor ini sangat penting untuk mengukur apakah hubungan bisa mulus dan langgeng. Cara menghitungnya, beri nilai 1 pada pilihan ’c’, nilai 2 untuk pilihan ‘b’, dan nilai 3 untuk pilihan ‘a’, lalu jumlahkan.

Jumlah > 25 mengindikasikan bahwa Anda pasangan yang sangat cocok.
Jumlah 20-24 mengindikasikan rata-rata atau lumayan cocok.
Jumlah 15-19 mengindikasikan tingkat ketidakpuasan yang tinggi.
Jumlah 10-14 mengindikasikan hubungan yang sangat parah.



Sumber: Gaya Hidup Sehat
Wartawan: WID

Apakah Orang Majus Berjalan Mundur?


Orang Majus Datang Dari Timur Terus Melihat Bintang Di Timur, Apakah Orang Majus Berjalan Mundur?

Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem dan bertanya-tanya: "Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia."

(Matius 2:1-2)

Orang Majus disebut-sebut sebagai ahli nujum, ahli perbintangan, filsuf, bahkan juga raja, tapi orang menyebutnya ada yang dari Persia, Babel, dll. Yang jelas Alkitab hanya menyebutkannya dari Timur. Nah berarti Orang Majus ini logikanya datang dari Timur terus menuju ke Barat, coba dipikir dulu betul nggak? Persia? Babel di Timur kalau mau menuju ke Yerusalem berarti mereka berjalan ke Barat, betul nggak?

Permasalahannya mereka berjalan karena melihat tanda bintang di “Timur.” Nah dari sini saja bisa dijadikan bahan pertanyaan:

1. Mereka melihat bintangnya waktu mereka masih berada di negaranya di daerah Timur, tapi itu berarti mereka seharusnya nggak melihat bintang itu lagi. Padahal di ayat selanjutnya mereka tahu keberadaan kanak-kanak Yesus karena ada bintang yang memimpin mereka

2. Mereka datang dari Timur menuju ke Barat sambil melihat bintang di sebelah Timur, apakah berarti mereka berjalannya mundur? Datang dari Timur menuju ke Barat dengan melihat bintang di sebelah Timur. Wah kalau jalan mundur berbulan-bulan, cape dehhhhh.

3. Bintang yang mengikuti mereka, so mereka berjalan dari Timur menuju ke Barat, terus dipimpin sama bintang yang dibelakang mereka, hi .. hi .. seperti pelihara bebek aja, bebek berjalan di depan terus yang nunjukin jalan di belakang sambil bilang kiri... kanan , terus..... he ... he.... nggak asyik ah. Masa sih bintang yang harusnya mimpin malah ngikutin?

4. Udah nggak usah dipikirin, terima aja, toh Alkitab cuma bilang gitu kok. Lah ini sih lebih nggak asik.

Nah iseng-iseng, saya coba buka-buka kamus Yunani nih, hue... he .. suombong padahal nggak ngerti juga. Mungkin ini bisa memberi pencerahan, dan mungkin nggak tambah melenceng lho. Kata “Timur” dalam bahasa Yunani ini memakai kata “Anatole” yang memang bisa menjadi beberapa arti, pertama: menunjukkan arah Timur, kedua; menunjukkan peristiwa “bintang” yang terbit, ketiga: surya pagi, dll. Dari sini, mungkin kebingungan saya terjawab lho. Kata orang Majus dari Timur, memang menunjukkan bahwa Orang Majus ini berasal dari daerah, dan datang dari Timur (menunjukkan arah Timur). Sedangkan “bintang di Timur” kemungkinannya bukanlah arah bintang yang di Timur, tetapi ingin menunjukkan ada “sesuatu” yang terbit, mungkin bintang, atau planet-planet, atau sesuatu yang lain yang tampak tidak seperti biasanya, ada yang lebih yang menandakan bahwa ada Raja yang lahir Yaitu Yesus Kristus. Yah sampai tahap ini, semoga saya tidak bingung lagi.

Bagaimana Ayub Mengatasi Gatal Yang Menyiksa?

Bagaimana Ayub Mengatasi Gatal Yang Menyiksa?


Lalu Ayub mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya,

sambil duduk di tengah-tengah abu.

Ayub 2:8


Kalau kita perhatikan cerita kesengsaraan Ayub kita kadang nggak habis pikir, kok bisa manusia mengalami cobaan dan ujian yang begitu hebat. Ayub kaya raya, tanah luas, ternak banyak, ada anak, istri. Lengkap sudah hidup Ayub sebagai manusia. Tetapi tiba-tiba semuanya itu “ludes.” Bayangkan bagaimana menderitanya Ayub, lha kita saja yang baru menderita putus cinta aja merananya sudah kehilangan gairah untuk hidup, apalagi kalau seperti Ayub? Eh belum cukup masih ditambah dia ada penyakit barah yang busuk di sekujur kulitnya, yang tentunya sangat gatal dan mungkin perih.


Nah kali ini, saya mungkin pingin meluruskan sedikit moga-moga nggak tambah melenceng ya. Di LAI TB disebutkan “Lalu Ayub mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya, sambil duduk di tengah-tengah abu.” Pertanyannya apakah benar itu sekeping beling bukankah kalau gatal, terus digaruk pakai sekeping beling apa malah nggak lecet semua ya?


Saya membuka versi bahasa Inggrisnya, dan ternyata di sana disebutkan bahwa itu adalah pecahan tembikar. Nah dari sini saya berpikir, dalam merasakan sakit, mungkin gatal-gatal karena barahnya itu, Ayub mencoba untuk menghilangkan rasa sakit dan gatalnya ini. Pakai sekeping beling? ^&*%$*# Coba aja, tetapi kalo pakai pecahan tembikar, coba deh pasti akan terasa lebih nikmat. Saya mencoba waktu ada gatal-gatal di tangan mencoba menggaruk pakai beling, rasanya hi hi hi ngeres. Tapi pakai pecahan tembikar, lumayan asooi enak, tapi masih lebih enak kalau nggak ada gatal-gatal yang gak perlu digaruk. Mungkin inilah yang dilakukan Ayub, ... ha ha semoga benar.

Mental Juara:


Mental Juara:

Kalah Di Awal, Bukanlah Akhir Dari Pertandingan


Copa Dji Sam Soe Indonesia, baru saja berakhir, kali ini yang menang adalah tim Sriwijaya F.C, atas Persipura. Sriwijaya F.C. pada awalnya bukanlah tim unggulan. Tetapi meskipun bukan tim unggulan mereka tidak berputus asa di dalam menghadapi lawan-lawan yang lebih senior “kemenangan” dari mereka.


Di acara final tadi malam, ada hal yang menarik untuk diperhatikan. Persipura, yang di tahun lalu sampai ke babak final dan hampir memenangkan final kalah oleh Arema. Rasanya copa kali inipun di atas kertas mereka menjadi klub “raksasa” yang kenyang pengalaman menang juga. Di menit-menit awal, Persipura mendobrak dan menggempur Sriwijaya F.C, sehingga Sriwijaya F.C kebobolan di menit awal.


Menyerah? Merasa tidak mampu? Pasrah? Putus asa? Ini sih bukan mental juara. Tetapi tidak dengan Sriwijaya F.C. Kemenangan bukanlah didasarkan pada kekalahan di awal pada saat mereka hendak memulai bertanding. Tetapi kemenangan yang sesungguhnya adalah ketika mereka mau berusaha dengan sungguh-sungguh bangkit, dan mengejar kekalahan. Tidak loyo tetapi meningkatkan stamina, tidak statis tetapi dinamis, tidak hilang harapan tetapi penuh semangat, tidak mandeg tetapi Kreatif. Dengan tekad baja dan kepercayaan yang tinggi, mereka akhirnya mampu menyamakan kedudukan sampai babak kedua berakhir. Posisi “score” tetap berimbang 1 lawan 1 sampai 2 x perpanjangan waktu, hingga harus diselesaikan dengan adu pinalti.


Mereka terus bertahan di titik ini, bahkan kepercayaan diri semakin tumbuh, dan mereka sudah siap dengan mental pemenang, kenapa? Karena mereka sebelumnya sudah punya pengalaman di pertandingan sebelumnya melawan Persija Purwakarta. Dari pengalaman itu mereka tahu, bahwa mereka memiliki sesuatu yang luar biasa; kiper yang handal, Penendang bola yang ciamik, dan pelatih yang bisa dipercaya dan membangkitkan semangat. Sehingga mereka tahu mereka punya kekuatan di atas “angin” sekarang melawan Persipura. Buktinya, persipura gentar, tendangan Pinalti pertama gagal dan kedua gagal disarangkan ke gawang yang dijaga Ferry. Akhir penali ini adalah 3:2 untuk Sriwijaya F.C. Komentator mengatakan dari tim Anak Bawang menjadi Pemenang.


Ada hal yang menarik, mereka bertanding kalah di awal tetapi tidak menyerah. Kalau melihat pertandingan ini, rasanya seperti pergumulan hidup dan kerohanian kita. Kita ditetapkan Tuhan untuk menjadi pemenang di dalam menjalani pergumulan hidup, Roma 8:37; Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Tetapi kita awalnya sering kalah, karena kalah terus berputus asa dan menyerah. Kita terus berkutat dan berkanjang dengan dosa-dosa kita. Pergumulan masalah seksuaitas, pornografi, kesombongan diri, rendah diri, keangkuhan, “perbuatan daging,” dan kita terus terbawa arus dan tenggelam di dalamnya. Semua itu karena kita merasa tidak mampu. Kita ditetapkan untuk menjadi pemenang, tetapi kita sering justru tidak memiliki mental pemenang.


Kita senang dengan “kemenangan-kemenangan” yang kelihatan tetapi tidak menganggap pentingnya perlu memperjuangkan kemenangan dalam hal rohani. Kalau dalam Copa Dji Sam Soe Indonesia, para pemenang akan disorot dan dipuji dengan dijadikan “headline” berita, tidak halnya dengan kerohanian karena kerohanian itu selalu seringnya berhubungan dengan hati “yang tersembunyi” dan tidak populer. Tetapi yakinlah, hati yang baik akan menghasilkan kualitas hidup yang baik yang memampukan kita menjadi pemenang atas kehidupan. Jangan menyerah, sebab ada kekuatan yang tersembunyi yang maha dahsyat dalam hidup kita. Ingat 1 Yohanes 4:4 Kamu berasal dari Allah, anak-anakku, dan kamu telah mengalahkan nabi-nabi palsu itu; sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia.


Ya, kita dilahirkan untuk menjadi pemenang, kekuatan sudah Tuhan sediakan. Masalahnya, apakah kita mempunyai mental pemenang?

Friday, January 11, 2008

Perjalanan Akhir November 2007


Perjalanan Akhir November 2007

(KTP-ku Penyelamatku)


Hari ini aku akan pergi ke “rumah para Dewata bersemayam,” ya pulau Bali, ya demikianlah orang menyebutnya. Ini bukanlah perjalanan pertamaku ke pulau Bali nan mempesona itu. Sebab dulu waktu masih duduk di bangku STM, kami satu kelas karya wisata ke Bali.


Gembira bercampur “exciting” kurasa di dada, baru pertama dalam hidup aku merasa jadi orang berarti. Dulu memang pernah ke Bali tetapi dalam rangka usia anak-anak remaja yang masih ingin main melongok petualangan di luar duniaku yang begitu kecil dan sempit. Tapi kali ini berbeda, adalah kesempatan perjalanan dalam rangka “tugas khusus,” bagi Raja yang kulayani, Yesusku, siapa lagi? Aku bertugas sebagai penyampai pesan dari Rajaku tuk orang yang dikasihi-Nya di sana. Bagaimana tidak gembira, anak desa diberi mandat “pergi” jadi wakil Raja segala raja menjadi penyampai berita-Nya. Yah, Tuhan kalau bukan anugerah apa donk nama yang pas untuk perjalanan ini?


Tapi ada hal yang menggelitik dalam benakku, sebelum masuk ke pulau Bali, atau tepatnya ketika masih berada di wilayah pelabuhan Ketapang, tiba-tiba kami dikejutkan dengan adanya pemeriksaan yang sangat ketat. Pak Polisi meminta kami turun dari Bus, trus dicek apa ada yang masih ada yang bermalas-malasan “masih ngantuk” di bus. Pemandangan lain, pak polisi dengan senjata “anjingnya” yang besar & berlarian kepayahan menuntun anjing-anjing yang girang menyalak yang ingin ikut menyemarakkan tugas “mengamankan negara” begitulah mungkin anjing itu berpikir, he .. he.. kok jadi sok ke-anjing-anjingan ya. Terus kami dikumpulkan oleh Pak-pak polisi yang betugas baik yang berseragam formal maupun yang berpakaian “preman.” “KTP dikumpulkan” teriak mereka, “Yang tidak punya KTP, sebelah sini,” seraya menunjuk ke suatu tempat khusus. Kemudian KTP kami discan, setelah selesai kami dipanggil satu-satu untuk “level” pemeriksaan berikutnya, semakin menggetarkan. KTP dibagi, semua dicek apakah wajah sama dengan foto di KTP, jangan-jangan yang di KTP lebih cakep dari aslinya. Giliran aku trima KTP-ku, “Ada keperluan apa Pak datang ke Bali?” tanyanya kepadaku sambil mata selidik ujung kaki hingga rambutku terutama jenggotku yang memang kupelihara dengan lebat. Ada hal yang mengganggu pikiranku, aku dipanggil “Pak” sudah tuakah aku? Jangan-jangan bener kata temen-temen, bahwa aku ini perjaka bermutu, he . he bemuka tua, eh mungkin ada yang ralat, “Masa sih perjaka?” gak percaya hi...hi gimana buktikannya? Yah itu sih cuma aku dan Tuhan yang tahu. Kok nglantur sih. Maksudnya, kok cuma aku yang ditanyai ada urusan apa Pak? Yang lain nggak, ah ini jangan-jangan karena jenggot kambing yang kupelihara itu ya, yang mengingatkan para Penegak hukum dan dunia internasional dengan peristiwa bom Bali. Bukankah sekarang di Bali lagi diadakan KTT Pemanasan Global, makanya aku terus berpikir makanya super ketat penjagaannya, makanya aku “sedikit” dicurigai tampangku mirip dengan para tersangka kali ya ..... wah terkenal donk gw, ini sih gw banget. Trus kami “berpose” seperti peragawan-peragawati di catwalk soalnya ada tempat khusus kami harus berjalan di suatu tempat yang panjang dan berjalan sendirian yang tentunya diamati dengan kamera cctv, he .. he.. kali-kali nampang di tv meskipun cuma di tv nya pak Pol. Selesai pemeriksaan kami lanjut sebrangi perairan menuju pelabuhan Gilimanuk.


Akhirnya Datang Juga!!! Aku ke Bali. Wahai Baliiii sambut aku, hi .. hi. kampungan banget, gw bangetz kan?


Nah setelah pulang aku berpikir, kayak orang pinter aja. Tapi serius Frenz. Perjalanan untuk mendapatkan izin masuk ke pulau dewata, surga para dewa yang kurasakan saat itu begitu ketat dan jika tidak punya KTP gak bisa masuk. Itu hanya perjalanan di dunia, bagaimana kalau perjalanan ke Surga? Apakah ada KTP yang diterbitkan dari pemerintahan surga? Aku mungkin bukan orang yang selalu baik dan sempurna, mungkin tingkah laku mirip dengan para pembuat kejahatan cuma tidak ketahuan.... Seperti yang aku alami, mungkin secara ciri-ciri fisik aku seperti golongan pengebom, tapi kenapa aku tetap bisa masuk ke Bali? KTP-ku asli diterbitkan oleh pemerintahan yang berwenang, artinya yang menjamin aku masuk ke Bali adalah pihak yang membuat KTP-ku sah, resmi, valid. Perjalanan masuk ke surga saya rasa demikian, harus punya KTP, yang diterbitkan juga oleh pihak berwenang yang memerintah di Surga. Bagi saya orang Kristen, saya bersyukur penjamin saya adalah Yesus sendiri. Bapa mengadili dan menghakimi, tetapi Bapa melihat Yesus yang menjamin saya, maka saya boleh bergembira lewati pos pemeriksaan surga nanti. KTP saya adalah Yesus Kristus yang telah mati menggantikan hukuman saya. Dosa saya mungkin sama besar dengan Amrozi Cs, meskipun mungkin mereka merasa tidak berdosa. Tetapi bukan dosa saya yang dilihat Bapa, Bukan saya dilihat Bapa. Kalau Bapa cuma lihat saya dan dosa saya, saya bisa langsung dikenali sebagai pelanggar “perusak, teroris, pengebom” kerajaan surga mulia. Tetapi Puji Tuhan Bapa di surga lihat Yesus yang menyelamatkan saya.


Yohanes 3:16-18:


16 Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.

17 Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.

18 Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah.

Terima kasih Tuhan perjalanan akhir November 2007, ingatkan sekali lagi anugrah Penebusan-Mu bagiku.

PUPUHAN 1 DESEMBER 2007



PUPUHAN 1 DESEMBER 2007

(Pelangi di Pupuhan-Ingatan akan bahaya Global Warming)


Kisah Perjalanan


Pada hari itulah, aku mendapatkan kesempatan untuk pergi ke Bali tentunya untuk menyampaikan Firman Tuhan ke suatu daerah bernama “Pupuhan.” Berangkat dari Denpasar jam 6 pagi, itu berarti jam biologisku di Malang jam 5 pagi. Berarti: persiapan, mandi, gosok gigi, BAB (Buang Air Besar) plus merawat “barang dagangan;” maksudnya wajahku meskipun pas-pasan asal rapi dan dibersihkan dengan sabun cuci muka, maka wajahku yang bernilai 6 kira-kira jadi 9-lah nilainya (jangan sirik donk) apa lagi dengan pakaian rapi, rambut diberi minyak rambut import minta dari teman dan berdasi pinjaman, (wuihhh ayam aja ketawa melihatnya, lho kok) kulakukan sekitar jam 04.30 waktu Denpasar berarti jam biologisku 03.30.waktu Malang, ..... Malang bener nasibku mesti bangun pagi-pagi hiks .. hiks. Tapi demi tugas mulia maka aku berkata “Dalam Nama Yesus’ aku mesti kuat melawan kantuks hi .. hi ... kayak orang Kharismatik aja.


Beneran jam 6 pagi, aku dan temenku, kusebut aja si Atax, dijemput bapak Ping Liang salah seorang Majelis Gereja di Bali (he .. he mudah-mudahan gak salah eja, soalnya beliau orang Tiong Hoa, sedang aku kembarannya, .. orang Jawa Ha .. Ha), naik Kijang, yang disetir sendiri oleh bapak Ping Liang. Perjalanan bertambah nikmat karena pak Ping Liang ini ternyata seorang yang handal mengendarai mobil. Berjalan ngebut tetapi tetap halus, jalan berkelok-kelok dengan tikungan yang tajam sepanjang perjalanan kami, tidak terasa justru menjadi nikmat, pokoknya bahasa kerennya seperti......ehm tahi kucing rasa coklat (eh nggak nyambung ya?*#@^%) karena sepertinya Bapak Majelis Gereja satu ini sudah menyatu dengan jalan Denpasar-Pupuhan yang sering dilaluinya.


Segala macam cerita, baik yang bermutu dan tidak, perlu maupun tidak, berbobot maupun tidak, lucu maupun garing, basa-basi maupun serius, sama-sama kami perbincangkan demi mengusir suasana tidak saling kenal di antara kami. Dalam perjalanan itu, aku disodorkan pesona alam nan indah seperti etalase yang terpampang di depan mataku sepanjang perjalanan kurang lebih 1,5 jam Denpasar-Pupuhan. Rumah dengan ornamen khas Bali, benda-benda dengan macam ragam bentuk yang menarik mewarnai perjalanan kami. Sawah-sawah yang hijau, hutan-hutan dan pohon-pohon yang tampak dari kejauhan nan begitu lebat dan hijau sangat teduh di mata, tak henti-hentinya aku mengucap syukur atas alam indah yang sedemikian ini. Sangat tepat jika Bali sebagai tempat untuk KTT tentang masalah Pemanasan Global. Apalagi di Bali, saya bahkan jarang melihat Mall-mal yang besar, atau gedung-gedung tinggi penuh kaca seperti di kota-kota besar yang lain. Hal yang kurasakan adalah begitu teduh, begitu hening, begitu damai, begitu bening di sanubari.


Tetapi mendadak kami dikejutkan suatu fenomena alam yang mungkin biasa bagi sebagian orang, tetapi bagi saya pribadi luar biasa, baik secara hati yang meluap-luap tetapi juga secara teologis (hi ... hi seperti pendeta aja padahal bukan). Fenomena itu adalah “pelangi.” Ya, pelangi yang begitu indah, tinggi, lebar, tidak terputus, dengan warna yang sangat jelas, busur melengkung berwarna-warni menghiasi warna alam hijau di bawahnya, sungguh menakjubkan. Saya bertanya kepada pak Ping Liang, apakah Bapak Pernah melihat pelangi seperti ini? Dia bilang tidak pernah dan ini pelangi paling indah yang dia temui, sayapun setuju dan mengiyakannya. Melihat pelangi itu saya begitu takjub, terkesima, dan melihat begitu agung dan luar biasanya Sang pencipta-nya, yang membuat diri saya begitu kecil dan tidak berarti apa-apa. Seperti Yehezkiel 1:28 Seperti busur pelangi, yang terlihat pada musim hujan di awan-awan, demikianlah kelihatan sinar yang mengelilinginya. Begitulah kelihatan gambar kemuliaan TUHAN. Tatkala aku melihatnya aku sembah sujud, ....


Makna Di Balik Perjalanan


Saya merasakan suatu pengalaman yang tidak tergantikan, sayang saya tidak membawa kamera/kamera digital yang sering ditenteng orang, maklum bukan orang kaya. Tetapi meski tidak ada bukti foto pelangi itu, ingatan pelangi itu menancap kuat dalam ingatanku.


Pelangi melambangkan akan kasih Allah, penyertaan Allah dan perjanjian Allah yang tidak akan menghukum manusia dengan air bah super dahsyat yang seperti itu lagi.


Kejadian 9:8-17, berbunyi:

8 Berfirmanlah Allah kepada Nuh dan kepada anak-anaknya yang bersama-sama dengan dia:9 "Sesungguhnya Aku mengadakan perjanjian-Ku dengan kamu dan dengan keturunanmu, 10 dan dengan segala makhluk hidup yang bersama-sama dengan kamu: burung-burung, ternak dan binatang-binatang liar di bumi yang bersama-sama dengan kamu, segala yang keluar dari bahtera itu, segala binatang di bumi. 11 Maka Kuadakan perjanjian-Ku dengan kamu, bahwa sejak ini tidak ada yang hidup yang akan dilenyapkan oleh air bah lagi, dan tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi." 12 Dan Allah berfirman: "Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, yang bersama-sama dengan kamu, turun-temurun, untuk selama-lamanya: 13 Busur-Ku Kutaruh di awan, supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi. 14 Apabila kemudian Kudatangkan awan di atas bumi dan busur itu tampak di awan, 15 maka Aku akan mengingat perjanjian-Ku yang telah ada antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, segala yang bernyawa, sehingga segenap air tidak lagi menjadi air bah untuk memusnahkan segala yang hidup. 16 Jika busur itu ada di awan, maka Aku akan melihatnya, sehingga Aku mengingat perjanjian-Ku yang kekal antara Allah dan segala makhluk yang hidup, segala makhluk yang ada di bumi." 17 Berfirmanlah Allah kepada Nuh: "Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan segala makhluk yang ada di bumi."


Ya, Allah berjanji untuk tidak menghukum manusia lagi dengan air yang seperti itu. Hal itu semata-mata didasarkan pada perjanjian-Nya yang kekal kepada Nuh dan Keturunannya dan kepada bumi tempat tinggal nuh dan keturunannya. Oleh sebab itu melalui Firman di atas, kita perlu melihat, konteks zaman Nuh yang kita relasikan dengan keadaan zaman kita sekarang.


Adanya Keserakahan Manusia


Kejadian 6:5-6: 5 Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, 6 maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya. Keadaan di zaman Nuh, Anak manusia kawin mengawin, beranak cucu, bertindak serakah, berbuat yang menurut mereka benar, segala kecenderungan hatinya adalah berbuat kejahatan dan menghasilkan kejahatan yang berdampak kesengsaraan pada manusia lainnya.


Inilah yang sebenarnya saya rasakan, saya datang ke Bali dengan waktu yang hampir bersamaan dengan KTT tentang pemanasan global. Di mana ada ketidakpedulian manusia atas alam yang dipercayakan kepadanya. Adanya rumah kaca yang dibangun oleh negara-negara maju, ataupun kota-kota besar, ditambah eksploitasi besar-besaran akan hutan yang ditebang dengan liar dan tanpa ampun tanpa ditanami lagi. Hutan-hutan dibuka untuk dijadikan bangunan-bangunan yang baru atau proyek yang baru aas nama ke modern dan industrialisasi yang ujung-ujungnya pasti bisnis dan duit, itupun sebagian besar bukan untuk kepentingan masyarakat yang luas, hanya kantong-kantong pribadi tertentu saja yang terisi dengan melimpah. Masyarakat, tetap saja miskin, tetap saja susah. Sudah bukan menjadi rahasia lagi, bahwa penduduk di sekitar sumber daya alam hgutan yang berlimpah biasanya bukanlah yang menikmati hasilnya bukan, justru mereka tereksploitasi dan tersingkir dari alamnya, hutan mereka kaya, alam mereka berlimpah tetapi mereka tetap sengsara. Keserakahan dan ketidakadaan perikemanusiaan justru datang karena adanya sumber daya alam ermasuk hutan yang berlimpah ini. Sehingga hal ini seperti zaman “jahiliyah” di zaman Nuh, Tuhan sendiri muak. Bukankah Jakarta sering terendam banjir, kalau dikatakan bahwa hal ini karena keadaan tempat dan lokasi Jakarta yang dibawah permukaan air masak tidak ada solusinya, bukankah ada negara-negara di Eropa yang jauh lebih dibawah permukaan airpun menemukan solusinya? Karena pemanasan Global diperkirakan akan menenggelamkan pulau-pulau? Dan masih banyak lagi.


Dengan adanya KTT tentang Pemanasan Global ini, bukankah sebaiknya kita maknai dengan semangat bahwa Tuhan juga sudah muak dengan tingkah laku manusia akhir-akhir ini. Kita ingat bahwa Tuhan memberikan hati nurani kepada manusia untuk menilai bahwa tindakan-tindakan yang diperbuatnya selama ini memang sudah kelewat batas. Hati nurani tersebut ada bagi mereka-mereka yang peduli akan kehancuran yang akan datang jika keserakahan ini tidak dihentikan. Para peserta KTT dan para pemikir, aktifis pecinta lingkungan hidup, sekarang sedang bergeliat untuk merobohkan dinding-dinding, kaca-kaca keangkuhan industri dan keserakahannya, dan menggalang kekuatan dalam memikirkan lingkungan kehidupan yang lebih baik di masa depan. Pertanyaannya, jangan-jangan gereja-gereja yang dibangun, tempat-tempat pelayanan yang dibangun juga tanpa sadar atau dengan sadar justru sebenarnya mempengaruhi pemanasan global, dan juga berefek tidak memanusiakan manusia di sekitarnya, mungkinkah?


Tuhan Tidak Berpangku Tangan


1. Tuhan Berinisiatif


Kejadian 6:8-9, 8 Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata TUHAN.

9 Inilah riwayat Nuh: Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah.


Di dalam dunia ini betapapun bagaimana bejatnya manusia hidup, tetapi tetap ada anugerah Allah yang memampukan masih ada manusia yang peduli dengan Allah. Satu hal yang luar biasa yang di dapat di sini adalah inisiatif menyelamatkan bumi selalu datang dari pihak Allah. Frase tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata Tuhan menjadi kunci. Artinya Tuhan berinisiatif memberikan kasih karunia kepada seseorang yang pada saat itu adalah Nuh untuk menjalankan misinya, misi penyelamatan atas dunia yang akan segera hancur atau lebih tepat pada konteks itu dihancurkan Allah dengan Air Bah untuk dibuat menjadi baru, dan Nuh adalah orang yang dipilih Allah, diperkenan oleh Allah untuk menjalankan misi penyelamatan, menggantikan dunia yang lama menjadi baru, dan hal yang seperti ini terus berulang di dalam Alkitab, di dalam setiap zaman Allah selalu membangkitkan orang-orang untuk menjalankan misinya menyelamatkan dunia.


Sehingga orang yang menjalankan misi ini adalah orang yang benar-benar tahu akan misi Tuhan, orang-orang yang tidak sekedar hidup, tetapi adalah orang-orang yang mampu memaknai kehidupan yang telah dipercayakan oleh Allah. Orang-orang yang dapat menjalankan misi Allah akan mempunyai karakteristik seperti Nuh, benar, tidak bercela, tidak ikut arus zaman, dan hidup bergaul dengan Allah, atau lebih tepatnya hidup “mondar-mandir” bersama dengan Allah. Jadi jelas karena ia hidupnya mondar-mandir bersama dengan Allah ia tahu apa yang harus dikerjakannya, ia tahu hati Allah, bahwa hati Allah sebenarnya adalah tidak ingin menghancurkan tetapi membuat baru, memelihara, memperbaiki, merawat. Dan tidak sekedar hidup di dunia.


2. Tuhan Mempercayakan Tugas Penyelamatan Alam Ciptaan Pada Umat-Nya


Di ayat sebelumnya, sebelum masuk ke cerita Nuh ada cerita yang menarik yaitu ada terdapat silsilah yang rumusannya demikian: A telah hidup x tahun dan memiliki anak B, A masih hidup y tahun setelah melahirkan B, dan A melahirkan anak anak laki-laki & perempuan. Jadi A mencapai umur x+y, lalu ia mati. Kalau saya sederhanakan sudah hidup sekian tahun punya anak hidup sekian tahun lagi dan mati.


Di sini kita melihat kontras dengan Henokh, yang juga mempunyai Frase yang sama dengan Nuh yang membedakan dari orang sezamannya ayat itu demikian: 21 Setelah Henokh hidup enam puluh lima tahun, ia memperanakkan Metusalah. 22 Dan Henokh hidup bergaul dengan Allah selama tiga ratus tahun lagi, setelah ia memperanakkan Metusalah, dan ia memperanakkan anak-anak lelaki dan perempuan. 23 Jadi Henokh mencapai umur tiga ratus enam puluh lima tahun. 24 Dan Henokh hidup bergaul dengan Allah, lalu ia tidak ada lagi, sebab ia telah diangkat oleh Allah.


Perbedaannya adalah bahwa yang pertama adalah orang yang sekedar hidup. Lahir, menjadi besar, dewasa kerja, punya anak, mati, bukankah ini sama dengan apa yang bukan manusia. Kalau hanya demikian apa bedanya manusia dengan “Baron” & “Miko” (maaf, anjing/binatang di kampusku). Tetapi yang kedua ada nilai lebih, secara kehidupan mereka mungkin melakukan hal yang sama tetapi memaknainya berbeda, yaitu adanya pola pikir sikap bergaul dengan Allah. Karena bergaul dengan Allah orang akan memiliki sifat-sifat yang seperti Allah, yang hidup, dinamis, memberi, memelihara, memanusiakan manusia, bertanggung jawab dengan lingkungannya. Mengejawantahkan kerohanian pengenalan dengan Tuhan di dalam relasinya dengan manusia dan ciptaan yang lain. Dapat membawa dirinya melihat bahwa kehidupannya di dunia ini adalah seperti pada masa manusia di taman Eden, yaitu mengusahakan dan memelihara, untuk apa? bertanggung jawab kepada Tuhan, dan bagi kemanusiaan, dan bagi alam ciptaan-Nya. Hidup bergaul dengan Allah berarti hidup memikirkan tentang nilai-nilai kekal kerajaan surga. C. S. Lewis berkata “Kalau anda baca sejarah, akan anda temukan bahwa umat Kristiani yang paling banyak berbuat bagi dunia yang sekarang ini adalah justru mereka-mereka yang paling memikirkan dunia yang berikutnya.” Contoh-contohnya adalah: Francis dari Asisi, yang menyayangi ciptaan di bumi, Ibu Teressa yang menghormati orang yang tertolak oleh masyarakatnya, Dietrich Boenhoeffer & Uskup Agung Oscar Romero, mengorbankan nyawanya demi orang lain, Romo Mangun (alm) memperjuangkan hak-hak kemanusiaan, Pdt Eka Darmaputera (Alm) yang mencintai Indonesia dengan Pendidikan Theologianya, dan masih banyak lagi yang kita bisa sebutkan. Terlebih lagi terhadap isu yang sekarang ini telah hangat-hangatnya tentang pemanasan global ini, kita sebagai orang Kristen yang sudah diberikan mandat budaya secara penuh oleh Allah, dapat juga menangkap visi ini, visi penyelamatan bumi, visi pemeliharaan bumi.


Akhir Cerita


Pada saat menulis ini, saya teringat, satu minggu sebelum saya pergi pelayanan ke Bali. Saya diajak oleh mahasiswa-mahasiswa di salah satu universitas di Malang untuk survei mengadakan penghijauan di hutan, dan juga akan mengadakan seminar tentang penghijauan di sekitar desa itu. Kami mengadakan perjalanan yang jauh, naik sepeda motor, mendaki jalan berbukit untuk menuju hutan yang kami akan tuju, ada rasa lelah, beberapa dari kami hampir pingsan, tetapi kami bertahan. Kami berjalan ke atas gunung di mana ada sumber air yang memberi kesejukan bagi penduduk desa Karangwidoro yang sudah bertahun-tahun tidak mendapatkan air bersih, sekarang boleh menikmati air bersih. Jiwa saya melonjak kegirangan, dan berkata Puji Tuhan, kenapa? Karena mahasiswa-mahasiswa itu meskipun bersekolah di kuliah sekuler mereka adalah mahasiswa-mahasiswa PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen), mahasiswa yang percaya kepada Kristus mengadakan penyelamatan hutan. Dan saya bertambah berteriak “Puji Tuhan,” karena penduduk yang sudah bertahun-tahun tidak menikmati air bersih, dan mesti berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk mendapatkan air bersih sekarang menikmati dengan cukup, air bersih atas prakarsa dan dana dari salah satu Sekolah Alkitab di Malang. Dan saya lebih harus berteriak Puji Tuhan, karena di Malang ini, saya juga menemukan ada ahli-ahli dan dosen-dosen yang percaya Kristus membentuk LSM untuk penyelamatan Lingkungan Hidup, sekali lagi Puji Tuhan atas karya yang dikerjakan-Nya melalui anak-anak-Nya. Tidak terasa, air mataku mengalir, Pelangi di Pupuhan-Ingatan akan bahaya Global Warming, ternyata sudah terlebih dahulu direspons oleh anak-anak Tuhan.


SOLI DEO GLORIA


Kekristenan Jika Hanya Bisa Dinikmati Orang Kristen Bukanlah Kekristenan