Thursday, April 17, 2008

Berpikir ke Depan atau Berpikir ke Bawah?


Kanak-kanak Berpikir ke Depan Vs "Orang Tua" Berpikir ke Bawah?


Beberapa hari ini saya iseng-iseng membuka tayangan Kick Andy di websitenya. Salah satu hal membuat saya terperanjat adalah adanya suatu fakta bahwa ada Maria Joanni (lihat gambar) dari Surabaya, yang meski baru berusia 10 tahun namun sudah memikirkan pentingnya kelestarian alam sehingga dengan tegas ia mengatakan apa yang dia lakukan dan pikirkan sekarang ini adalah untuk anak cucu kelak. Joanni yang masih duduk di kelas lima SD ini begitu kritis terhadap penggunaan barang yang mengandung bahan perusak ozon. Saking kritisnya, Joanni pernah melakukan protes kepada panitia sebuah acara berlingkup nasional yang memberinya konsumsi dengan pembungkus sterefoam. ”Pembungkus sterofoam kan tidak ramah ozon, makanya aku menolak,” ujar Joanni yang mengaku sering pula tidak jadi makan di restoran kalau kemasannya menggunakan sterefoam.Karena keberanian serta sikap kritisnya tersebut, Joanni mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Ozon atau Ozone Hero dari Klub Tunas Hijau. Joanni berusia 10 tahun berpikir ke depan, jauh ke masa depan, pada usia yang masih begitu muda dan hijau, dan anehnya para penonton dan masyarakat berdecak kagum dan salut dengan integritas dan pola pikir Joani, termasuk sayapun mengaguminya.


Namun pada saat yang sama saya membaca berita di mana justru para “orang tua” juga lagi sibuk memikirkan sesuatu yang menurut mereka juga untuk menyelamatkan “anak cucu” dari bahaya yang sudah paling kuno yaitu prostitusi. Tindakan itu adalah dengan beramai-ramai membuat Perda yang mengharuskan panti-panti pijat menggunakan gembok yang harus digunakan oleh para wanita pemijat pada celana dalamnya. Hal ini dilakukan karena panti pijat disinyalir adalah tempat terjadinya praktik prostitusi terselubung. Berbeda dengan Joanni yang menuai rasa salut dan kagum atas apa yang menjadi keputusannya, maka Perda tentang penggunaan celana dalam ini justru menuai kritik dari para pembaca berbagai media. Kritik-kritik tersebut sangat tidak mengenakkan. Masyarakat kecewa, dengan keputusan pemerintah ini, bukan karena mereka melakukan prostitusi di panti pijat, tetapi lebih kepada penyederhanaan suatu masalah. Masyarakat berpendapat betapa sederhananya pola pikir “orang tua” kita yang menjabat di pemerintahan, ada yang berpendapat, negara lain sudah menduduki bulan, pejabat ini masih ngurusi maaf celana dalam. Bagaimana negara ini bisa maju jika yang dipikirkan adalah masalah yang begitu pragmatis namun tidak menjawab permasalahannya.


Saya membaca berita itu sudah seminggu yang lalu. Nah baru saja saya membaca salah satu koran harian, yang dalam salah satu tulisannya mengungkap sisi pelaku dan penikmat panti pijat. Dengan perda ini mereka tetap merasa tidak pengaruh, soalnya apa sih fungsinya gembok? Toh yang pegang kunci? Gembok juga “orang sendiri.” Artinya keputusan tersebut tidak berpengaruh besar. Para orang tua ini lupa bahwa yang perlu diberi perhatian bukan celana dalam yang digembok tetapi hati yang “digembok.” Artinya hati manusia adalah pusat segala hal yang dikerjakan oleh manusia. Maka oleh sebab itu, lebih mengubah hati dengan siraman-siraman rohani lebih penting dari sekedar menggembok celana dalam. Masalahnya adalah justru tempat-tempat di mana hati bisa diperbaiki dan diperbarui justru tidak mendapat perhatian yang serius. Orang membangun tempat maksiat lebih mudah daripada membangun tempat ibadah. Masalahnya siapakah yang mengizinkan tempat panti-panti pijat, bar, karaoke, night club, bahkan lokalisasi-lokalisasi bukankah juga para “orang tua” yang menduduki jabatan dan disebut-sebut sebagai berpengalaman dan juga kadang-kadang menyebut diri mereka ahlinya?


Akhirnya kegelisahan-demi kegelisahan masyarakat muncul juga dengan malasnya masyarakat dengan figur “orang tua” yang itu-itu juga dan keputusannya itu-itu juga. Sehingga hal ini membuat masyarakat mulai beralih kepada figur-figur “muda.” Bahkan partai politik yang besar pun sekarang sudah tidak lagi menjamin untuk mendapatkan simpati masyarakat, karena apa? Keputusan-keputusan yang diambil hanya sebatas itu-itu juga, yaitu yang “dibawah.” Sudah saatnya para pemimpin ini belajar dari Joanni yang berusia 10 tahun kelas 5 SD, tetapi berpikir maju puluhan tahun ke depan, bagi anak cucu, bagi generasi penerus, yang terus berpikir bahwa dunia ini adalah milik Tuhan yang dititipkan untuk dipelihara dengan bertanggung jawab. Lalu bagaimana dengan kita yang sudah bertambah umur? sudahkah kita melihat seperti Joanni melihat bahwa segala hal di dunia ini adalah milik Tuhan, yang pada saatnya nanti harus kita pertanggungjawabkan penggunaannya dihadapan Tuhan. Sudahkah keputusan-keputusan hidup yang kita ambil mencerminkan pertanggungjawaban kita atas dunia (baca: Kerajaan Allah) yang Tuhan sudah percayakan kepada kita?


“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.”

(Markus 10:15)

No comments: