DON’T JUDGE A BOOK FROM ITS COVER
(SENI MERAYAKAN HIDUP DALAM KEBERAGAMAN)
PENDAHULUAN
Dalam kampanye pemilihan presiden di Amerika Serikat kali ini, tampil satu tokoh yang fenomenal, yaitu Barrack Obama. Kenapa saya mengatakan fenomenal, sebab Obama ini bukanlah orang “pure” Amerika yang notabene “kulit putih” tetapi ia adalah warga negara Amerika yang keturunan Kenya, dan terlebih lagi ia adalah orang yang di masa kecilnya hidup yang dekat dengan kultur Asia, karena ia pernah tinggal dan bersekolah di Indonesia, bahkan lebih lagi ia bahkan pernah disebut-sebut pernah memeluk agama Islam. Padahal bukankah jika kita menilik bagaimana pandangan sebagian dunia Arab ataupun bagi negara-negara yang sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam, Amerika ini sering dilabeli sebagai negara “Kristen” yang anti Islam, bahkan belum pernah ada yang presidennya bukan berkulit putih. Melalui fenomena yang demikian ini Christianto Wibisono dalam Suara Pembaruan, menulis
Latar belakang sejarah ini sekarang mulai terkuak dan merupakan bagian dari ujian sejarah, apakah AS akan lulus sebagai negara demokrasi sejati yang tidak terhambat oleh faktor sentimen primordial seperti ras, etnis, keturunan, dan agama. Jika John Kennedy menghadapi masalah Katolik dan Mitt Romney agama Mormon, maka yang menimpa Obama adalah dua masalah sekaligus, etnis campuran imigran Kenya dan isu bahwa ia pemeluk Islam semasa hidup di Indonesia.
Sebuah tanggapan yang sangat bagus, bahwa inilah yang terjadi dalam demokrasi, ada keterbukaan, ada persamaan hak, ada persamaan derajat sebagai manusia. Hal ini berbeda dengan
Mungkin bagi kita yang mendengar ini gerah juga rasanya, walaupun kalau dipikir-pikir ada juga sisi benarnya, namun sekali lagi kita jangan keburu-buru menghakimi dulu kalau negara ini pasti begitu. Tapi nggak usah nge-judge negara dululah. Kita kembali dulu kepada gereja, jangan-jangan gereja juga punya semangat yang seperti itu lho. Suatu contoh, suatu kali teman saya (yang sekarang sedang menjalani proses sebagai calon pendeta di suatu sebuah gereja) pernah cerita kepada saya, “Ron, salah satu gereja di kota itu sedang butuh hamba Tuhan, tetapi Majelisnya bilang harus yang sukunya A, soalnya kalau yang diluar A takutnya golongan dari suku A gak ada yang ke gereja. Tetapi kalau dari suku A yang jadi pendeta maka suku-suku yang lain akan masuk gereja.” Waduh saya berpikir kalau gereja yang sebagai wakil Allah di dunia ini saja seperti itu, bagaimana dengan negara dimana gereja itu ada ya? Pasti negaranya sama parahnya atau juga lebih parah daripada itu. Maka benarlah Ronald J. Sider menulis buku “The Scandal of The Evangelical Conscience” yang mengungkapkan bahwa orang Kristen di Amerika bahkan yang mengaku diri lahir baru adalah justru gereja-gereja yang mendukung rasialisme, menyedihkan bukan? Penelitian tersebut dilakukan di Amerika yang notabene adalah negara demokrasi yang menjamin kebebasan tiap individu, apalagi jika hal ini dilakukan di gereja-gereja
MENILIK KEPADA FIRMAN TUHAN
Mari kita melihat Matius 1:1-17;
1 Inilah silsilah Yesus Kristus, anak Daud, anak Abraham.
2 Abraham memperanakkan Ishak, Ishak memperanakkan Yakub, Yakub memperanakkan Yehuda dan saudara-saudaranya,
3 Yehuda memperanakkan Peres dan Zerah dari Tamar, Peres memperanakkan Hezron, Hezron memperanakkan Ram,
4 Ram memperanakkan Aminadab, Aminadab memperanakkan Nahason, Nahason memperanakkan Salmon,
5 Salmon memperanakkan Boas dari Rahab, Boas memperanakkan Obed dari Rut, Obed memperanakkan Isai,
6 Isai memperanakkan raja Daud. Daud memperanakkan Salomo dari isteri Uria,
7 Salomo memperanakkan Rehabeam, Rehabeam memperanakkan Abia, Abia memperanakkan Asa,
8 Asa memperanakkan Yosafat, Yosafat memperanakkan Yoram, Yoram memperanakkan Uzia,
9 Uzia memperanakkan Yotam, Yotam memperanakkan Ahas, Ahas memperanakkan Hizkia,
10 Hizkia memperanakkan Manasye, Manasye memperanakkan Amon, Amon memperanakkan Yosia,
11 Yosia memperanakkan Yekhonya dan saudara-saudaranya pada waktu pembuangan ke
12 Sesudah pembuangan ke
13 Zerubabel memperanakkan Abihud, Abihud memperanakkan Elyakim, Elyakim memperanakkan Azor,
14 Azor memperanakkan Zadok, Zadok memperanakkan Akhim, Akhim memperanakkan Eliud,
15 Eliud memperanakkan Eleazar, Eleazar memperanakkan Matan, Matan memperanakkan Yakub,
16 Yakub memperanakkan Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus.
17 Jadi seluruhnya ada: empat belas keturunan dari Abraham sampai Daud, empat belas keturunan dari Daud sampai pembuangan ke
KONTEKS DAN PENJELASAN:
Menurut tradisi Injil Matius adalah Injil yang ditulis oleh Lewi seorang Yahudi untuk meyakinkan akan bukti kemesiasan Tuhan Yesus Kristus kepada orang-orang Yahudi. Bagi banyak orang, silsilah ini ingin menunjukkan kepada orang-orang Yahudi bahwa Yesus secara keturunan adalah “trah” Yahudi. Kenapa hal ini penting bagi orang Yahudi? Karena orang Yahudi adalah bangsa yang sangat menjunjung tinggi keyahudiannya, karena mereka merasa sebagai bangsa pilihan. William Barclay menulis bahwa orang-orang Yahudi dalam doanya mereka bersyukur karena mereka adalah orang Yahudi bukan bangsa Kafir. Maka tidak heran jika bangsa Yahudi tidak mau mengakui Herodes sebagai pemimpin mereka karena Herodes (Pasal 2) bukanlah bangsa Yahudi Asli tetapi adalah bangsa Idumea (
Pandangan yang demikian ada benarnya juga, tetapi penulis lebih memilih bahwa silsilah itu dimaksudkan justru sebagai suatu penggenapan nubuat kemesiasan Tuhan Yesus Kristus seperti yang tertulis di dalam Kitab Suci orang Yahudi. Sebab bagi orang Yahudi, Kitab Suci, yaitu Kitab Torah dan Para Nabi adalah hal yang sangat penting bagi mereka, dan kemesiasan menjadi sah dan valid jika di dalam Kitab Suci mereka telah tertulis terlebih dahulu. Kenapa penulis berkata demikian? Hal ini dikarenakan ada di antara silsilah-silsilah itu yang justru “memperlemah” keyahudian Yesus Kristus, dikarenakan adanya orang-orang yang justru di luar Yahudi, bahkan ada juga berlatar belakang kurang baik. Keempat orang itu adalah Tamar (3), Rahab dan Rut (5) dan Istri Uria [Betseba] (6). Sampai tahap ini penulis berpendapat bahwa Firman Tuhan ingin menunjukkan kepada kita bahwa ketika hidupnya di dalam dunia ini di dalam tubuh Yesus sudah mengalir darah suku-suku bangsa, dan Yesus adalah universal. Betul Yesus adalah Yahudi. Tetapi meskipun Yesus yang penulis akui sebagai Tuhan adalah orang Yahudi, bukankah bangsa Yahudi merasa bahwa ia adalah bangsa pilihan yang merasa superioritas, tetapi Yesus yang adalah Tuhan menggoncang dasar kesuperioritasan Yahudi dengan dialirkan darah suku-suku bangsa di dalam tubuhnya yang mulia, sungguh indah dan luar biasa.
Dalam Injil matius pasal yang pertama ini saja Yesus sudah mengguncangkan kita bahwa sebenarnya Yesus telah menebus dan mendudukkan suku-suku bangsa di dalam satu tubuh yang paling mulia yaitu tubuh Kristus sendiri, seluruh suku-suku bangsa telah diperdamaikan untuk hidup bersama di dalam tubuh yang Mulia yaitu Yesus Kristus sendiri. Bukankah sekarang tubuh Kristus di masa sekarang itu adalah gereja itu sendiri, yang sudah diperdamaikan oleh darah Kristus untuk bisa duduk diam, hidup bersama-sama, hidup berdampingan satu sama lain dalam kadar, derajat yang sama sebagai manusia yang sudah sama-sama ditebus seperti Firman Tuhan, “Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya” (Roma 10:12).
Memang membicarakan masalah ini secara teoritis sangatlah mudah namun di dalam kenyataannya, banyak sekali rintangan-rintangan dan hambatan-hambatan yang ada untuk kita bisa duduk dalam derajat dan harkat yang sama? Maka di bawah ini penulis mencoba untuk memikirkan rintangan-rintangan dan hambatan-hambatan untuk kita bisa melaksanakan Firman Tuhan ini?
HAMBATAN-HAMBATAN
KESUPERIORITASAN SUKU BANGSA
Kita tidak bisa menutup mata bahwa setiap bangsa akan mengklaim kesuperioritasannya. Mau tidak mau, suka tidak suka kita mengakui ini, kita dilahirkan ke dalam dunia ini dengan membawa “gen superior” menganggap bangsa sendiri sebagai bangsa yang lebih unggul dari bangsa yang lain. Bukankah sejarah telah membuktikan bahwa “pembersihan” etnis kerap terjadi di dalam dunia ini karena merasa bahwa bangsa sendiri lebih unggul? Hitler bersama bangsa Arya Jermannya merasa superior dan mengakibatkan pembersihan “holocoust” etnis Yahudi, Ku Klux Klan berkulit putih yang ingin menghabisi warga Afro-American yang hitam, politik “Apartheid” di Afrika yang berusaha menyingkirkan hak-hak suku Aborigin, yang ironisnya peristiwa-peristiwa tersebut justru memperoleh “dukungan mesra” dari gereja pada masa itu. Ya, gereja mempunyai sejarah yang kelam dengan masalah rasialisme ini yang berpangkal pada kesuperioritasan sebuah bangsa sehingga ingin menghancurkan bangsa yang lain dan memandang bangsa yang lain lebih rendah.
Di dalam Firman Tuhan pernah ada yang menggumulkan masalah ini, Ahli Taurat sebagai orang yang taat beragama bertanya tentang hidup kekal, dan bertanya “Siapakah sesamaku manusia?” (Lukas 10:29), dengan demikian pertanyaan ini menyiratkan bahwa orang lain tidak otomatis sama. Dalam menjawab pertanyaan ini Tuhan Yesus menggunakan suatu cerita:
30 Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. 31 Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. 32 Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. 33 Lalu datang seorang
Ini adalah cerita yang sudah kita kenal bukan?
Sampai di sini Yesus tidak meneruskan ceritanya, malah Yesus balik bertanya, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!"
Mengapa Yesus tidak menjawab pertanyaan ahli Taurat “Siapakah Sesamaku Manusia?” Bagi Yonky Karman, pertanyaan itu adalah keliru, sebab berarti ada orang yang termasuk kelompokku tetapi ada juga orang yang bukan termasuk kelompokku. Atau lebih jahat adalah ada orang yang masuk kelompokku adalah manusia tetapi ada orang yang memang manusia tetapi bagiku bukan manusia. Sehingga pertanyaan yang demikian menempatkan si penanya sebagai pemberi kriteria siapa saja yang menjadi sesamanya dan yang bukan sesamanya, karena tidak semua orang adalah sesamanya.
Oleh sebab itu Tuhan Yesus mengubah pertanyaannya, menghancurkan dasar dan logika berpikir orang Yahudi yang merasa superioritas itu dengan pertanyaan siapakah yang menjadi sesama bagi orang yang
PELABELAN SUATU SUKU BANGSA
Hal selanjutnya yang merintangi kita untuk bisa menerima suku-suku yang lain adalah kita terlanjur dicemari dengan “stereotip–stereotip” tertentu. Misalnya orang Jawa hanya bisa menjadi pembantu Rumah Tangga, Gadis-gadis
Dalam Injil Yohanes 1:46 diceritakan Natanael pernah mempertanyakan atau lebih tepat dibilang dengan memperolok Yesus dengan berkata: "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?" Pertanyaan Natanael tentang Yesus yang berasal dari Nazaret ini bukanlah tanpa alasan. Menurut R.T. France, Nazaret bukanlah kota penting, hanya kota kecil yang tidak lebih dari desa yang tidak terkenal, tanpa arti dalam sejarah, namun terlebih lagi adalah kota itu setengah kafir, jadi jelas bagi seorang Yahudi sejati pergaulan dengan sesuatu yang kafir kalau bisa dihindari. Jadi Natanael sudah memasang “cap” kepada Yesus. Cap atau label yang diberikan kepada Yesus bukanlah cap yang baik tetapi adalah cap yang “mengeneralisasi yang sebenarnya tidak general.” Natanael tidak mengenal Yesus, Natanael belum bertemu dengan Yesus, belum menyelidiki tetapi langsung menyimpulkan, dan kesimpulannya adalah kesimpulan yang salah.
Tetapi Yesus menjawab Natanael yang datang kepada-Nya, lalu berkata tentang dia: "Lihat, inilah seorang
ADANYA LUKA BATIN DALAM SEJARAH
Setiap kehidupan manusia memiliki sejarah karena manusia hidup dalam ruang dan waktu. Karena manusia hidup dalam ruang dan waktu maka akan ada berbagai macam peristiwa di dalam kehidupannya. Masalahnya tidak semua sejarah itu baik, sejarah yang baik akan kita kenang sebagai kenangan yang memberi semangat. Tetapi sejarah kita juga kadang-kadang diwarnai dengan kesedihan. Kesedihan inilah bisa mengakibatkan luka batin dalam sejarah kita. Luka-luka itu bermacam-macam, adanya perlakuan yang tidak adil karena menjadi satu suku bangsa tertentu, hak-hak kita merasa diinjak-injak karena kita sebagai satu suku bangsa tertentu, kita tidak mendapatkan perlindungan hukum yang memadai karena kita sebagai satu bangsa tertentu. Dalam segala abad permasalahan-permasalahan seperti ini akan terus muncul, masalahnya bagaimanakah kita menyikapinya.
Dalam Kitab Suci disebutkan adanya kisah Yesus yang menemui seorang perempuan
Pada bagian ini lebih unik lagi karena peristiwa pertemuan Yesus dengan perempuan
Sehingga jelas di dalam Yesus luka-luka batin sejarah kita seharusnya sudah ditaklukkan oleh Kristus. G. K. Chesterton pernah berkata “Apakah yang salah dengan dunia ini?” dan dengan tegas ia menjawab “Sayalah masalahnya.” Kita mungkin di dalam pergumulan luka batin sejarah bangsa kita bertanya, tanya dalam hati tentang ketidakadilan, ketidaksempurnaan. Seperti Chesterton harusnya kita berani berkata “Sayalah masalahnya” karena apapun itu yang menimpa kita, seringkali ada juga andil kita di dalamnya, entah kadarnya banyak entah itu sedikit. Kenapa bisa demikian? Seperti yang penulis yakini, kita adalah manusia yang berdosa. Bukankah akibat dosa yang pertama adalah manusia membunuh manusia lainnya?(peristiwa kain dan habil). Dan itu akan terus ada sepanjang kita tidak menyadari ada anugerah yang lebih besar untuk memampukan kita untuk tidak mengulanginya. Tetapi puji Tuhan, Yesus Kristus menang atas maut untuk menebus manusia, untuk menebus peradaban, menebus tradisi, untuk ditundukkan dibawah hukum Allah, yaitu hukum kasih dan anugerah-Nya.
SOLUSI
Pergumulan tentang perbedaan itu akan selalu ada di sepanjang abad, tetapi hendaknya gereja Tuhan menjadi teladan di garis depan untuk mewujudkan adanya satu bentuk persatuan, persamaan hak, derajat, martabat dari setiap manusia. Sebab jika gereja, sebagai wakil Allah, dan juga sebagai tempat pelatihan Kerajaan Allah di dunia ini gagal untuk memberikan teladan dan sumbangsih ini, kepada siapa lagi dunia akan mencari teladan. Firman Tuhan "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang (Matius 5:13).” Gereja Tuhan di negara Indonesia harus menangkap visi ini. Sebab kata Indonesia menunjukkan suatu kemajemukan budaya, suku bangsa, yang begitu beragam.
Pada saat saya masih berkuliah di Malang, saya mengikuti kebaktian di salah satu geraja Malang. Pada saat itu yang berkhotbah adalah seorang dosen di salah satu sekolah teologi injili di Malang. Dalam khotbahnya beliau menyampaikan bahwa Gereja masa depan Indonesia adalah gereja yang Multi-Etnis, hal ini dikarenakan karena latar belakang bangsa yang beragam dan plural. Gereja di Indonesia yang baik bukan lagi gereja yang mengedepankan kesukuannya, tetapi adalah gereja yang dapat menampung berbagai macam suku bangsa dapat hadir beribadah, dan menikmati ibadah. Karena demikianlah nanti suasana surga, seluruh bangsa akan bersatu berkumpul dan menyembah Yesus Kristus sang Kepala Gereja. Pada saat Hamba Tuhan tersebut berkhotbah, iseng-iseng saya melepaskan pandangan ke seluruh ruangan gereja itu. Karena saya laki-laki normal maka yang saya lihat adalah gadis-gadis yang hadir kebaktian. Saya takjub, gadis-gadis dari berbagai macam suku bangsa, baik dari yang berkulit putih sampai hitam, dari yang berambut keriting sampai yang lurus, dari yang matanya sipit sampai yang bulat, dan menurut pandanganku saat itu semuanya cantik-cantik, dalam hati saya berteriak Puji Tuhan, Allah sungguh Ajaib.
Oleh sebab itu mungkin ada beberapa hal yang harus gereja Tuhan lakukan supaya kita menjadi gereja yang memang Multi-Etnis:
MENJADI SESAMA
Sikap merendahkan diri dan memjadi sesama sangat diperlukan, yang masing-masing tidak merasa bahwa dirinya adalah paling baik. Seperti yang saya ingat, Pdt. Eka Darmaputera pernah menulis bahwa ketika seseorang dilahirkan ke dalam dunia ia tidak bisa memilih, itu adalah sesuatu yang “given” atau dari sononya tentunya sesuai dengan hikmat-Nya, karena sudah dari sononya kita adalah sama-sama ciptaan, memandang rendah ciptaan dan hikmat-Nya dalam menciptakan manusia, berarti memandang rendah Allah Sang Pencipta. Sehingga yang perlu diingat adalah kita ini sama-sama manusia, mensyukuri apa yang Tuhan sudah tetapkan. Maka itu kenalilah sesama kita secara personal, dan bersahabat dengan siapa saja.
REKONSILIASI
Sikap ini diperlukan, bagi kita yang pernah terluka oleh perlakuan ketidakadilan karena kita sebagai satu suku bangsa. Henry Nouwen pernah menulis, bahwa yang terlukalah yang mesti menyembuhkan. Bagi saya hal ini adalah Alkitabiah, karena sesuai dengan apa yang Allah perbuat. Karena manusia yang berdosa maka Allahlah yang menyelesaikannnya dengan mengirimkan Yesus ke dunia.
Satu kali saya berkata kepada Boksu yang orang Tiong-Hoa, “Saya benci orang Tiong-Hoa!!!” hal ini karena saya merasa dilecehkan di gereja hanya sebagai “bolo dupak” (Teman yang ditendang) artinya kalo ada pekerjaan yang menyangkut kerja bakti saya diundang untuk membantu segala perlengkapan angkat junjung, pada saat itulah saya diperlakukan sebagai “teman”. Tapi, giliran ada kegiatan yang lebih asyik, ada pesta sedikit, kumpul-kumpul, makan-makan, gak pernah diinget bahkan kenalpun tidak, saya sakit…kit…kit. Boksu diam, lalu beliau berkata, “Ron, saya juga benci orang Jawa, bayangkan Ron sejak saya kecil sampai SMA saya selalu menjadi bulan-bulanan orang Jawa.” Mereka berkata, “Hai ada Cina gendut, ayo kita serang!!!!!” Sehingga hal ini membuat dia trauma dan benci dengan orang Jawa. Saya sadar, saya terluka dengan orang Tiong-Hoa. Demikian juga Boksu pernah terluka dengan orang Jawa. Lalu Boksu berkata, “Ron, maafkan bangsaku telah membuatmu terluka.” Sayapun berkata, “Boksu, maafkan bangsaku yang telah membuat Boksu terluka.” Kami menangis, kami berjabat tangan dan berdoa, ada kedamaian yang indah, beban bertahun-tahun itupun lepas. Apalagi sekarang, he.. he setelah bertahun rekonsiliasi tersebut, sekarang aku justru mendapatkan calon istri orang Tiong-Hoa, orang tuanya sudah setuju lagi, Puji Tuhan.
MENGUTAMAKAN FIRMAN TUHAN
Banyak umat Tuhan mengerti Alkitab, tetapi persoalan mau tunduk dan tidak adalah soal yang lain. Bagi Tuhan Yesus, silsilah di dalam diri-Nya ingin menunjukkan selain suku bangsa juga ada berbagai macam tradisi yang mengalir di dalam diri-Nya sebagai orang “Yahudi.” Tetapi yang membedakan adalah, Yesus tahu bahwa baik diri-Nya, hidup-Nya, tradisi yang mengalir di dalam darah-Nya, suku bangsa yang mengalir di dalam darah-Nya ditundukkan kepada Bapa yang disembah-Nya. Sehingga jelas di sini, siapa mengontrol siapa. Yang absolute mengontrol yang relatif. Masalahnya siapa yang absolute bagi kita?