PUPUHAN 1 DESEMBER 2007
(Pelangi di Pupuhan-Ingatan akan bahaya Global Warming)
Kisah Perjalanan
Pada hari itulah, aku mendapatkan kesempatan untuk pergi ke Bali tentunya untuk menyampaikan Firman Tuhan ke suatu daerah bernama “Pupuhan.” Berangkat dari Denpasar jam 6 pagi, itu berarti jam biologisku di Malang jam 5 pagi. Berarti: persiapan, mandi, gosok gigi, BAB (Buang Air Besar) plus merawat “barang dagangan;” maksudnya wajahku meskipun pas-pasan asal rapi dan dibersihkan dengan sabun cuci muka, maka wajahku yang bernilai 6 kira-kira jadi 9-lah nilainya (jangan sirik donk) apa lagi dengan pakaian rapi, rambut diberi minyak rambut import minta dari teman dan berdasi pinjaman, (wuihhh ayam aja ketawa melihatnya, lho kok) kulakukan sekitar jam 04.30 waktu Denpasar berarti jam biologisku 03.30.waktu Malang, ..... Malang bener nasibku mesti bangun pagi-pagi hiks .. hiks. Tapi demi tugas mulia maka aku berkata “Dalam Nama Yesus’ aku mesti kuat melawan kantuks hi .. hi ... kayak orang Kharismatik aja.
Beneran jam 6 pagi, aku dan temenku, kusebut aja si Atax, dijemput bapak Ping Liang salah seorang Majelis Gereja di Bali (he .. he mudah-mudahan gak salah eja, soalnya beliau orang Tiong Hoa, sedang aku kembarannya, .. orang Jawa Ha .. Ha), naik Kijang, yang disetir sendiri oleh bapak Ping Liang. Perjalanan bertambah nikmat karena pak Ping Liang ini ternyata seorang yang handal mengendarai mobil. Berjalan ngebut tetapi tetap halus, jalan berkelok-kelok dengan tikungan yang tajam sepanjang perjalanan kami, tidak terasa justru menjadi nikmat, pokoknya bahasa kerennya seperti......ehm tahi kucing rasa coklat (eh nggak nyambung ya?*#@^%) karena sepertinya Bapak Majelis Gereja satu ini sudah menyatu dengan jalan Denpasar-Pupuhan yang sering dilaluinya.
Segala macam cerita, baik yang bermutu dan tidak, perlu maupun tidak, berbobot maupun tidak, lucu maupun garing, basa-basi maupun serius, sama-sama kami perbincangkan demi mengusir suasana tidak saling kenal di antara kami. Dalam perjalanan itu, aku disodorkan pesona alam nan indah seperti etalase yang terpampang di depan mataku sepanjang perjalanan kurang lebih 1,5 jam Denpasar-Pupuhan. Rumah dengan ornamen khas Bali, benda-benda dengan macam ragam bentuk yang menarik mewarnai perjalanan kami. Sawah-sawah yang hijau, hutan-hutan dan pohon-pohon yang tampak dari kejauhan nan begitu lebat dan hijau sangat teduh di mata, tak henti-hentinya aku mengucap syukur atas alam indah yang sedemikian ini. Sangat tepat jika Bali sebagai tempat untuk KTT tentang masalah Pemanasan Global. Apalagi di Bali, saya bahkan jarang melihat Mall-mal yang besar, atau gedung-gedung tinggi penuh kaca seperti di kota-kota besar yang lain. Hal yang kurasakan adalah begitu teduh, begitu hening, begitu damai, begitu bening di sanubari.
Tetapi mendadak kami dikejutkan suatu fenomena alam yang mungkin biasa bagi sebagian orang, tetapi bagi saya pribadi luar biasa, baik secara hati yang meluap-luap tetapi juga secara teologis (hi ... hi seperti pendeta aja padahal bukan). Fenomena itu adalah “pelangi.” Ya, pelangi yang begitu indah, tinggi, lebar, tidak terputus, dengan warna yang sangat jelas, busur melengkung berwarna-warni menghiasi warna alam hijau di bawahnya, sungguh menakjubkan. Saya bertanya kepada pak Ping Liang, apakah Bapak Pernah melihat pelangi seperti ini? Dia bilang tidak pernah dan ini pelangi paling indah yang dia temui, sayapun setuju dan mengiyakannya. Melihat pelangi itu saya begitu takjub, terkesima, dan melihat begitu agung dan luar biasanya Sang pencipta-nya, yang membuat diri saya begitu kecil dan tidak berarti apa-apa. Seperti Yehezkiel 1:28 Seperti busur pelangi, yang terlihat pada musim hujan di awan-awan, demikianlah kelihatan sinar yang mengelilinginya. Begitulah kelihatan gambar kemuliaan TUHAN. Tatkala aku melihatnya aku sembah sujud, ....
Makna Di Balik Perjalanan
Saya merasakan suatu pengalaman yang tidak tergantikan, sayang saya tidak membawa kamera/kamera digital yang sering ditenteng orang, maklum bukan orang kaya. Tetapi meski tidak ada bukti foto pelangi itu, ingatan pelangi itu menancap kuat dalam ingatanku.
Pelangi melambangkan akan kasih Allah, penyertaan Allah dan perjanjian Allah yang tidak akan menghukum manusia dengan air bah super dahsyat yang seperti itu lagi.
Kejadian 9:8-17, berbunyi:
8 Berfirmanlah Allah kepada Nuh dan kepada anak-anaknya yang bersama-sama dengan dia:9 "Sesungguhnya Aku mengadakan perjanjian-Ku dengan kamu dan dengan keturunanmu, 10 dan dengan segala makhluk hidup yang bersama-sama dengan kamu: burung-burung, ternak dan binatang-binatang liar di bumi yang bersama-sama dengan kamu, segala yang keluar dari bahtera itu, segala binatang di bumi. 11 Maka Kuadakan perjanjian-Ku dengan kamu, bahwa sejak ini tidak ada yang hidup yang akan dilenyapkan oleh air bah lagi, dan tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi." 12 Dan Allah berfirman: "Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, yang bersama-sama dengan kamu, turun-temurun, untuk selama-lamanya: 13 Busur-Ku Kutaruh di awan, supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi. 14 Apabila kemudian Kudatangkan awan di atas bumi dan busur itu tampak di awan, 15 maka Aku akan mengingat perjanjian-Ku yang telah ada antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, segala yang bernyawa, sehingga segenap air tidak lagi menjadi air bah untuk memusnahkan segala yang hidup. 16 Jika busur itu ada di awan, maka Aku akan melihatnya, sehingga Aku mengingat perjanjian-Ku yang kekal antara Allah dan segala makhluk yang hidup, segala makhluk yang ada di bumi." 17 Berfirmanlah Allah kepada Nuh: "Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan segala makhluk yang ada di bumi."
Ya, Allah berjanji untuk tidak menghukum manusia lagi dengan air yang seperti itu. Hal itu semata-mata didasarkan pada perjanjian-Nya yang kekal kepada Nuh dan Keturunannya dan kepada bumi tempat tinggal nuh dan keturunannya. Oleh sebab itu melalui Firman di atas, kita perlu melihat, konteks zaman Nuh yang kita relasikan dengan keadaan zaman kita sekarang.
Adanya Keserakahan Manusia
Kejadian 6:5-6: 5 Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, 6 maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya. Keadaan di zaman Nuh, Anak manusia kawin mengawin, beranak cucu, bertindak serakah, berbuat yang menurut mereka benar, segala kecenderungan hatinya adalah berbuat kejahatan dan menghasilkan kejahatan yang berdampak kesengsaraan pada manusia lainnya.
Inilah yang sebenarnya saya rasakan, saya datang ke Bali dengan waktu yang hampir bersamaan dengan KTT tentang pemanasan global. Di mana ada ketidakpedulian manusia atas alam yang dipercayakan kepadanya. Adanya rumah kaca yang dibangun oleh negara-negara maju, ataupun kota-kota besar, ditambah eksploitasi besar-besaran akan hutan yang ditebang dengan liar dan tanpa ampun tanpa ditanami lagi. Hutan-hutan dibuka untuk dijadikan bangunan-bangunan yang baru atau proyek yang baru aas nama ke modern dan industrialisasi yang ujung-ujungnya pasti bisnis dan duit, itupun sebagian besar bukan untuk kepentingan masyarakat yang luas, hanya kantong-kantong pribadi tertentu saja yang terisi dengan melimpah. Masyarakat, tetap saja miskin, tetap saja susah. Sudah bukan menjadi rahasia lagi, bahwa penduduk di sekitar sumber daya alam hgutan yang berlimpah biasanya bukanlah yang menikmati hasilnya bukan, justru mereka tereksploitasi dan tersingkir dari alamnya, hutan mereka kaya, alam mereka berlimpah tetapi mereka tetap sengsara. Keserakahan dan ketidakadaan perikemanusiaan justru datang karena adanya sumber daya alam ermasuk hutan yang berlimpah ini. Sehingga hal ini seperti zaman “jahiliyah” di zaman Nuh, Tuhan sendiri muak. Bukankah Jakarta sering terendam banjir, kalau dikatakan bahwa hal ini karena keadaan tempat dan lokasi Jakarta yang dibawah permukaan air masak tidak ada solusinya, bukankah ada negara-negara di Eropa yang jauh lebih dibawah permukaan airpun menemukan solusinya? Karena pemanasan Global diperkirakan akan menenggelamkan pulau-pulau? Dan masih banyak lagi.
Dengan adanya KTT tentang Pemanasan Global ini, bukankah sebaiknya kita maknai dengan semangat bahwa Tuhan juga sudah muak dengan tingkah laku manusia akhir-akhir ini. Kita ingat bahwa Tuhan memberikan hati nurani kepada manusia untuk menilai bahwa tindakan-tindakan yang diperbuatnya selama ini memang sudah kelewat batas. Hati nurani tersebut ada bagi mereka-mereka yang peduli akan kehancuran yang akan datang jika keserakahan ini tidak dihentikan. Para peserta KTT dan para pemikir, aktifis pecinta lingkungan hidup, sekarang sedang bergeliat untuk merobohkan dinding-dinding, kaca-kaca keangkuhan industri dan keserakahannya, dan menggalang kekuatan dalam memikirkan lingkungan kehidupan yang lebih baik di masa depan. Pertanyaannya, jangan-jangan gereja-gereja yang dibangun, tempat-tempat pelayanan yang dibangun juga tanpa sadar atau dengan sadar justru sebenarnya mempengaruhi pemanasan global, dan juga berefek tidak memanusiakan manusia di sekitarnya, mungkinkah?
Tuhan Tidak Berpangku Tangan
1. Tuhan Berinisiatif
Kejadian 6:8-9, 8 Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata TUHAN.
9 Inilah riwayat Nuh: Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah.
Di dalam dunia ini betapapun bagaimana bejatnya manusia hidup, tetapi tetap ada anugerah Allah yang memampukan masih ada manusia yang peduli dengan Allah. Satu hal yang luar biasa yang di dapat di sini adalah inisiatif menyelamatkan bumi selalu datang dari pihak Allah. Frase tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata Tuhan menjadi kunci. Artinya Tuhan berinisiatif memberikan kasih karunia kepada seseorang yang pada saat itu adalah Nuh untuk menjalankan misinya, misi penyelamatan atas dunia yang akan segera hancur atau lebih tepat pada konteks itu dihancurkan Allah dengan Air Bah untuk dibuat menjadi baru, dan Nuh adalah orang yang dipilih Allah, diperkenan oleh Allah untuk menjalankan misi penyelamatan, menggantikan dunia yang lama menjadi baru, dan hal yang seperti ini terus berulang di dalam Alkitab, di dalam setiap zaman Allah selalu membangkitkan orang-orang untuk menjalankan misinya menyelamatkan dunia.
Sehingga orang yang menjalankan misi ini adalah orang yang benar-benar tahu akan misi Tuhan, orang-orang yang tidak sekedar hidup, tetapi adalah orang-orang yang mampu memaknai kehidupan yang telah dipercayakan oleh Allah. Orang-orang yang dapat menjalankan misi Allah akan mempunyai karakteristik seperti Nuh, benar, tidak bercela, tidak ikut arus zaman, dan hidup bergaul dengan Allah, atau lebih tepatnya hidup “mondar-mandir” bersama dengan Allah. Jadi jelas karena ia hidupnya mondar-mandir bersama dengan Allah ia tahu apa yang harus dikerjakannya, ia tahu hati Allah, bahwa hati Allah sebenarnya adalah tidak ingin menghancurkan tetapi membuat baru, memelihara, memperbaiki, merawat. Dan tidak sekedar hidup di dunia.
2. Tuhan Mempercayakan Tugas Penyelamatan Alam Ciptaan Pada Umat-Nya
Di ayat sebelumnya, sebelum masuk ke cerita Nuh ada cerita yang menarik yaitu ada terdapat silsilah yang rumusannya demikian: A telah hidup x tahun dan memiliki anak B, A masih hidup y tahun setelah melahirkan B, dan A melahirkan anak anak laki-laki & perempuan. Jadi A mencapai umur x+y, lalu ia mati. Kalau saya sederhanakan sudah hidup sekian tahun punya anak hidup sekian tahun lagi dan mati.
Di sini kita melihat kontras dengan Henokh, yang juga mempunyai Frase yang sama dengan Nuh yang membedakan dari orang sezamannya ayat itu demikian: 21 Setelah Henokh hidup enam puluh lima tahun, ia memperanakkan Metusalah. 22 Dan Henokh hidup bergaul dengan Allah selama tiga ratus tahun lagi, setelah ia memperanakkan Metusalah, dan ia memperanakkan anak-anak lelaki dan perempuan. 23 Jadi Henokh mencapai umur tiga ratus enam puluh lima tahun. 24 Dan Henokh hidup bergaul dengan Allah, lalu ia tidak ada lagi, sebab ia telah diangkat oleh Allah.
Perbedaannya adalah bahwa yang pertama adalah orang yang sekedar hidup. Lahir, menjadi besar, dewasa kerja, punya anak, mati, bukankah ini sama dengan apa yang bukan manusia. Kalau hanya demikian apa bedanya manusia dengan “Baron” & “Miko” (maaf, anjing/binatang di kampusku). Tetapi yang kedua ada nilai lebih, secara kehidupan mereka mungkin melakukan hal yang sama tetapi memaknainya berbeda, yaitu adanya pola pikir sikap bergaul dengan Allah. Karena bergaul dengan Allah orang akan memiliki sifat-sifat yang seperti Allah, yang hidup, dinamis, memberi, memelihara, memanusiakan manusia, bertanggung jawab dengan lingkungannya. Mengejawantahkan kerohanian pengenalan dengan Tuhan di dalam relasinya dengan manusia dan ciptaan yang lain. Dapat membawa dirinya melihat bahwa kehidupannya di dunia ini adalah seperti pada masa manusia di taman Eden, yaitu mengusahakan dan memelihara, untuk apa? bertanggung jawab kepada Tuhan, dan bagi kemanusiaan, dan bagi alam ciptaan-Nya. Hidup bergaul dengan Allah berarti hidup memikirkan tentang nilai-nilai kekal kerajaan surga. C. S. Lewis berkata “Kalau anda baca sejarah, akan anda temukan bahwa umat Kristiani yang paling banyak berbuat bagi dunia yang sekarang ini adalah justru mereka-mereka yang paling memikirkan dunia yang berikutnya.” Contoh-contohnya adalah: Francis dari Asisi, yang menyayangi ciptaan di bumi, Ibu Teressa yang menghormati orang yang tertolak oleh masyarakatnya, Dietrich Boenhoeffer & Uskup Agung Oscar Romero, mengorbankan nyawanya demi orang lain, Romo Mangun (alm) memperjuangkan hak-hak kemanusiaan, Pdt Eka Darmaputera (Alm) yang mencintai Indonesia dengan Pendidikan Theologianya, dan masih banyak lagi yang kita bisa sebutkan. Terlebih lagi terhadap isu yang sekarang ini telah hangat-hangatnya tentang pemanasan global ini, kita sebagai orang Kristen yang sudah diberikan mandat budaya secara penuh oleh Allah, dapat juga menangkap visi ini, visi penyelamatan bumi, visi pemeliharaan bumi.
Akhir Cerita
Pada saat menulis ini, saya teringat, satu minggu sebelum saya pergi pelayanan ke Bali. Saya diajak oleh mahasiswa-mahasiswa di salah satu universitas di Malang untuk survei mengadakan penghijauan di hutan, dan juga akan mengadakan seminar tentang penghijauan di sekitar desa itu. Kami mengadakan perjalanan yang jauh, naik sepeda motor, mendaki jalan berbukit untuk menuju hutan yang kami akan tuju, ada rasa lelah, beberapa dari kami hampir pingsan, tetapi kami bertahan. Kami berjalan ke atas gunung di mana ada sumber air yang memberi kesejukan bagi penduduk desa Karangwidoro yang sudah bertahun-tahun tidak mendapatkan air bersih, sekarang boleh menikmati air bersih. Jiwa saya melonjak kegirangan, dan berkata Puji Tuhan, kenapa? Karena mahasiswa-mahasiswa itu meskipun bersekolah di kuliah sekuler mereka adalah mahasiswa-mahasiswa PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen), mahasiswa yang percaya kepada Kristus mengadakan penyelamatan hutan. Dan saya bertambah berteriak “Puji Tuhan,” karena penduduk yang sudah bertahun-tahun tidak menikmati air bersih, dan mesti berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk mendapatkan air bersih sekarang menikmati dengan cukup, air bersih atas prakarsa dan dana dari salah satu Sekolah Alkitab di Malang. Dan saya lebih harus berteriak Puji Tuhan, karena di Malang ini, saya juga menemukan ada ahli-ahli dan dosen-dosen yang percaya Kristus membentuk LSM untuk penyelamatan Lingkungan Hidup, sekali lagi Puji Tuhan atas karya yang dikerjakan-Nya melalui anak-anak-Nya. Tidak terasa, air mataku mengalir, Pelangi di Pupuhan-Ingatan akan bahaya Global Warming, ternyata sudah terlebih dahulu direspons oleh anak-anak Tuhan.
SOLI DEO GLORIA
Kekristenan Jika Hanya Bisa Dinikmati Orang Kristen Bukanlah Kekristenan
No comments:
Post a Comment